Senin, 11 Januari 2010

Sistem Integrasi Budaya Melayu Bangka Belitung

Sistem Integrasi Budaya Melayu Bangka Belitung


Melayu yang identik dengan agama, bahasa, dan adat-istiadat merupakan integritas yang solid. Agaknya Bahasa menjadi lebih dulu muncul sebagai salah satu identitas budaya melayu, ia lahir seiring dengan perkembangan budayanya. Bahasa melayu menjadi lingua franca di Nusantara, kini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa itu sudah menyebar lewat imperium Sriwijaya, Imperium Melayu Jambi, bahkan Pagaruyung. Namun imperium itu pudar oleh serangan Majapahit sampai 1365, Serangan tersebut menyebabkan Parameshawara hijrah dari Palembang ke Malaka, Tetapi bahasa melayu itu sudah berintegrasi ke wilayah yang pernah diduduki Sriwijaya.

Parameshwara telah membawa bahasa dan adat istiadat tersebut hijrah ke Malaka kemudian mendirikan imperium Melayu Malaka tahun 1400 maka penyebaran bahasa, adat istiadat bahkan Agama Islam. Penyebaran budaya melayu ini mulai dari Pesisir Timur Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya hingga Patani (Thailand) penyebaran bahasa ini yang kemudian oleh orang barat, bahwa orang yang mendiami Nusantara ini di sebut orang melayu.

Penyebaran imperium Melayu Malaka itu, di abad berikutnya membentuk kesultanan Islam seperti di Siak, Pontianak, Johor, dan lainnya. termasuk wilayah kepulauan Riau. Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis tahun 1511, Sultan Iskandar Syah dari Malaka mengungsi dan mendiami Pulau Bintan dengan pusat kebudayaannya Tanjungpinang.

Sampai kemudian sekitar tahun 1513, wilayah melayu Jambi dan Palembang dikuasai oleh Raden Patah dari Demak. Raden Patah membawa pengaruh Jawanya, hingga sistem kesultanan Islam tumbuh di wilayah “melayu” Sumatera ini hingga dekade berikutnya.

Bagaimana di Bangka Belitung? Wilayah Bangka terbentuk oleh dominasi Kesultanan Palembang, setelah lepas dari Kesultanan Banten karena anak perempuan Bupati Nusantara dari Banten yang menguasai Bangka menikah dengan Sultan Palembang, Abdurrahman tahun 1659-1707. Dan Belitung pada masa yang hampir sama dikuasai oleh Mataram yaitu Ki Gegedeh Yakob, Cakraninggrat I tahun 1618-1661, setelah menikahi putri Ki Ronggo udo, yaitu penguasa Belitung sebelumnya.

Bangka Belitung hingga kejatuhan Imprium Melayu Malaka tahun 1511, masih belum didominasi budaya Islam artinya kerajaan Islam seperti Demak tidak menancapkan kekuasaan di dua pulau ini. Dominasi politis setelah Majapahit runtuh tahun 1478, masuklah pengaruh Islam di Bangka Belitung dan membentuk sistem adat istiadat yang mengacu pada keIslaman. Masuknya Islam di Bangka kita kenal misalnya Syech Abddurahman Sidik ulama Banjar dari Kalimantan, masuk di wilayah Mendo Barat, beserta ulama Islam yang lainnya.

Islam berpengaruh besar terhadap perkembangan kebudayaan Bangka Belitung. Penghormatan terhadap Agama Islam oleh penganutnya dibuktikan dengan rasa syukur yang begitu menonjol seperti kita lihat pada tradisi “ pesta lebaran” yang di rayakan secara sukacita baik hari raya Idul fitri atau pun Idul adha. Sedangkan pada hari-hari menyangkut peringatan Agama Islam seperti, Maulud Nabi juga di rayakan dengan “pesta lebaran” serta juga digelar acara nganggung di tiap-tiap mesjid- mesjid hampir di seluruh pulau Bangka. Tak hanya acara sakralnya bahkan acara karnaval Islami pun digelar di Desa Kemuja, Mendo Barat. Begitupun pada acara ruahan menjelang puasa, bahkan acara ritual kepercayaan guna menyambut puasa di daerah tempilang justru digelar di pantai yang lebih terkenal dengan acara “Perang Ketupat”.

Acara tradisi adat dan seremoni “pesta lebaran” memang memaknai hubungan sosial yang tinggi dalam umat Islam di Bangka Belitung. Belitung sendiri memiliki pengaruh tersendiri setelah Islam masuk. Masuknya Islam di Belitung langsung menyentuh kepada sistem pemerintahannya, yaitu raja pada masa itu seperti Ki Ronggo Udo dari Geresik Jawa Timur kemudian menguasai Kerajaan Hindu Badau yang sebelumnya di bawah Majapahit, Kyai Massud atau Ki Gegedeh Yakob yang kemudian menjadi Raja Balok. Datuk Ahmad dari Pontianak yang kemudian menjadi Ngabehi di wilayah Belantu. KA Siasip yang menjadi penghulu Agama Islam pertama di Belitung. Serta sejumlah ulama seperti Syech Abubakar Abdullah dari Pasai, dan lainnya. Ketika Islam menyentuh sistem maka secara politis budaya tumbuh seiring dengan kebijakan terebut.

Pengaruh Islam cukup kuat di Belitung setelah penghulu agama Islam berperan maka pengaruh kepercayaan perdukunan di tiap-tiap kampung di seluruh Belitung juga berintegrasi dengan ajaran tersebut, akulturasi tradisi kepercayaan dengan ajaran agama Islam menjadi cukup signifikan, meskipun sistem ritual kepercayaan masih tetap dihormati sampai sekarang. Misalnya tradisi selamatan kampung, acara syukuran pada anak yang lahir, disambut dengan membaca doa islami dan pembacaan syair marhaban.

Tetapi tradisi di keluarga raja menjadi sedikit berbeda dengan yang di masyarakatnya, misalnya pada acara ritual syukuran selamatan kelahiran anak, pada keluarga raja ada acara tradisi ritual “Tangga Tebu” dengan mengedepankan simbolisasi kepercayaan sugestif yang dibawa dari Budaya Raja-Raja Jawa. Namun bukan berarti Belitung adalah Jawanis, itu hanya akuturasi yang muncul setelah kebijakan raja tertanam sekian abad yang kemudian membentuk budaya sendiri di wilayah tersebut. Karena itu juga gelar turunan keluarga raja di wilayah ini memiliki identitas tersendiri dari wilayah kerajaan lainnya di Nusantara.

Islam memang identik dengan melayu setelah tumbuh dan berkembang secara politis lewat kesultanan. Tapi pada budaya Bangka Belitung dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, ia tumbuh membentuk budaya Islami tersendiri, seperti perkembangan tradisi ngganggung misalnya. Sedangkan adat istiadatnya tidaklah melayu seutuhnya karena pengaruh kebijakan raja, pemimpin wilayah, kepala suku, penghulu agamanya, serta tradisi masyarakatnya telah membentuk adat-istiadat sendiri. Karena itulah Bangka Belitung menjadi wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung.

Bagaimana dengan bahasa dan adat istiadat melayu yang masuk Bangka Belitung? Kedua aspek ini masuk dan membudaya di masyarakat Bangka Belitung secara gradual lewat kedatangan penduduk dari beberapa wilayah sekitar Bangka Belitung. Untuk wilayah Bangka geografisnya mudah dicapai lewat laut dari daratan Sumatera maka penyebaran ragam penduduk lebih dominan dari wilayah ini; Melayu tua dari Sriwijaya dan Jambi sudah lebih awal mendiami Bangka, ini dibuktikan adanya Prasasti Kota Kapur. Bahkan diperkiraan sebelumnya sudah adanya penduduk yang lebih tua lagi seperti sudah mendiami wilayah Air Abik yang disebut sebagai suku Urang Lom. Ragam masuknya penduduk ini membawa bahasa ibunya, maka tak aneh jika Bangka memiliki kekayaan bahasa dengan fonetis yang beragam.

Misalnya Mentok yang fonetis bahasanya cenderung ke Bahasa Semenanjung Malaya, karena kita mengenal wilayah ini banyak dipengaruhi oleh Johor dan Siantan; setelah Sultan Mahmud Badaruddin mengungsi ke Siantan. Dan kemudian Sultan Mahmud Badaruddin menyerahkan Mentok pada Wan Akup dari Siantan, atas jasa bantuan angkatan perang Siantan untuk menduduki Palembang yang di kuasai Ratu Anum Kamaruddin. Hanya bahasa wilayah Belinyu kemiripan fonetisnya sama dengan Palembang. Dan wilayah Bangka lainnya yang menjadi begitu beragam fonetikanya.

Belitung lebih dekat ke Kalimantan maka dominan bahasa penduduknya lebih dekat pula dengan wilayah tersebut namun perbedaannya fonetikanya tak begitu signifikan, bunyi bahasa itu hanya dibedakan cengkoknya saja. Hingga irama dari fonetis bahasanya terdengar memiliki perbedaan alunan, berbedaan ini misalnya bisa disimak pada bunyi bahasa asli penduduk wilayah Sijuk dengan penduduk wilayah Belantu. Sedang wilayah lainnya hampir sama dan tak ada perbedaan yang menonjol.

Berbedaan fonetika inilah dapat menunjukkan identitas pribadi serta asal usul kelahirannya maka budaya setiap insan akan tercermin lewat bahasa yang disebut dengan istilah budi-bahasanya. Budi dan bahasa Bangka Belitung terkenal dengan budi yang ramah dengan diiringi bahasa yang santun. Maka sampai kini pun, pada setiap kunjungan ke rumah-rumah masyarakat adatnya, tamu akan mendapat pelayanan yang baik, keterbukaan masyarakatnya menjadikan kedua wilayah ini memiliki aura budaya hingga membuat para pendatang betah untuk tinggal dan menetap.

Sayangnya, Dominasi pendatang yang hanya sekedar menjadikan Bangka Belitung sebagai ladang “matapenghidupan” selalu tak memperhatikan budaya setempat hingga tak jarang ada benturan sosial yang berujung pada pertikaian. Namun hal tersebut tidak selalu menjadi bahaya laten karena budi dan bahasa masyarakat Bangka Belitung yang tercermin dalam karakter mereka selalu dapat bersikap moderat pada pendatang.

Perkembangan Sistem Yang Saling Berhubungan

Sist.Informasi
Seperti yang kita ketahui bahwa sistem informasi itu terdiri dari dua kata, yaitu sistem dan informasi. Sistem adalah kumpulan elemen yang berintegrasi untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan informasi adalah data yang telah diolah menjadi bentuk yang lebih berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang (Davis, 1999). Informasi dapat menggambarkan kejadian nyata yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Sumber dari informasi adalah data yang dapat berbentuk huruf, simbol, alfabet dan lain sebagainya.

Pada intinya sistem informasi itu tidak lepas dari input-proses-output, data yang diproses oleh sistem sehingga menghasilkan suatu output (informasi) . Di Indonesia sendiri telah ada susunan undang undang yang menjelaskan tentang informasi yaitu :

Menurut UUD 1945, Pasal 28,
setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.


Kita menginginkan Langkah-langkah dan kebijaksanaan yang dikembangkan Indonesia diharapkan akan mengantarkan Indonesia ke tahap dimana Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari masyarakat informasi global. Perkembangan sistem informasi pun dari tahun ke tahun berkembang semakin cepat seiring dengan perkembangan teknologi juga tentunya.

Indonesia sedang merumuskan “Nusantara 21″ sebagai konsepsi jaringan informasi memasuki abad 21. Nusantara 21 dikonsepsikan sebagai “Jaringan dan Sistem Informasi Nusantara” memasuki abad 21, dimana seluruh ibukota kecamatan akan mampu mengakses jaringan dan sistem informasi nasional dan bahkan global. Nusantara 21 akan terdiri dari jaringan superhighway informasi lingkar Jawa, lingkar Sumatra, Lingkar Kalimantan. Kepulauan dengan kota-kota besar akan menjadi “kota Multimedia”. Pada saat itu diharapkan sudah berkembang aplikasi-aplikasi pendidikan, kesehatan, iptek, perdagangan, pariwisata, layanan umum, pemerintah dll.

Berikut ini adalah informasi yang saya dapat dari situs

http://jakarta.wartaegov.com/index.php?option=com_content&view=article&id=3845:depkominfo-kembangkan-e-province&catid=44:ragamberita&Itemid=56

Departemen Komunikasi dan Informatika mengembangkan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Daerah yang disebut e-Province. Aplikasi ini memungkinkan bagi pemerintah provinsi untuk mengintegrasikan data dari seluruh kabupaten/kota di wilayah mereka.
Menurut Direktur e-Government Depkominfo Herry Abdul Azis, pihaknya saat ini sedang mengembangkan berbagai macam aplikasi e-Government untuk digunakan oleh instansi pemerintah daerah setingkat Provinsi.

Ada 14 aplikasi yang telah selesai dan siap diimplementasikan. 14 aplikasi eGov tersebut antara lain :
-Aplikasi Pendidikan
- Aplikasi Pariwisata
- Aplikasi Perikanan
- Aplikasi Peternakan
- Aplikasi Perkebunan
- Aplikasi Pertanian
- Aplikasi Informasi hukum
- Aplikasi Kepegawaian
- Aplikasi Pendapatan Daerah
- Aplikasi e-Arsip
- Aplikasi e-Office
- Aplikasi SMS Center
- Aplikasi e-Libray
- Aplikasi Kantor Maya

ke-14 aplikasi tersebut telah saling terintegrasi satu dengan yang lain. Sehingga, duplikasi data tidak lagi terjadi. Namun, Herry mengakui bahwa di beberapa Pemda telah menciptakan aplikasi eGov yang sektornya sama dengan yang dikembangkan oleh Depkominfo, meskipun jumlahnya beragam.

"Misalnya, Pemprov A punya 2 dari 14 yang kita punya, atau Pemprov B punya 5 dari 14 yang ada. Tidak masalah, mereka bisa tetap menggunakan aplikasi milik mereka sendiri, karena aplikasi dari kita bersifat open source dan mendukung interoperabilitas," jelas Herry.

Bagi Herry, dengan sifat aplikasi yang open source, aplikasi yang telah dikembangkan oleh Depkominfo ini bisa dikustomisasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing Pemda.

Aplikasi eGov yang disebut juga e-Province ini memang menyasar institusi setingkat Provinsi, terutama yang telah mampu mengintegrasikan kabupaten/kota yang ada di wilayah masing-masing.


Sebenarnya perkembangan sistem informasi terjadi juga diberbagai bidang seperti manajemen, akuntansi, rumah sakit, pemasaran, akademik, geografis, dsb. Sistem Informasi diberbagai bidang ini perlu dikembangkan semuanya demi kemajuan Indonesia juga. Karena memang kenyataannya hal ini belum dilakukan secara optimal.
Sebagai contoh, Sail Bunaken 2009 yang diadakan di Kota Manado dan Kota Bitung pada tanggal 12 s/d 19 Agustus 2009 lalu, bertujuan untuk menggalang opini dunia dan sebagai penegasan bahwa Indonesia adalah negara maritim terbesar di dunia yang memiliki potensi kelautan luar biasa dan memiliki kekuatan maritim yang dapat dibanggakan. Selama ini Indonesia dengan potensi kelautannya masih belum dipromosikan menjadi sumber ekonomi bagi kesejahteraan rakyat secara optimal serta menjadi sumber ekonomi nasional yang signifikan.


Akan tetapi kita ketahui bahwa kekayaan yang begitu melimpah ini belum termanfaatkan secara maksimal. Di satu sisi Indonesia memposisikan diri sebagai negara kepulauan dengan kekayaan lautnya yang melimpah. Tetapi, di sisi lain Indonesia juga memposisikan diri secara kultural sebagai bangsa agraris dengan puluhan juta petani yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Sesungguhnya kita sendiri mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri akan sebuah sistem yang kompleks dan rumit, yang sebelumnya dinilai hanya bisa dikerjakan oleh tenaga asing. Seorang pakar IT diharapkan bisa membangun sebuah sistem yang mampu membangun lingkungan kelautan nasional. Tentu saja ini sistem yang besar. Sangat besar bahkan. Baik dari sisi institusi yang akan terlibat maupun cakupan sistemnya. Sistem ini harus informatif, yaitu harus memberikan informasi yang lengkap tentang kondisi kelautan nasional.

Baik dari sisi sumber daya laut yang kita miliki, keadaan perairan, cuaca, kejadian penting di laut (accident maupun incident), tanda-tanda navigasi laut yang sangat membantu bagi kapal berlayar di lautan kita, dan segala informasi mengenai laut lainnya. Semacam pusat data kelautan nasional di mana idealnya hendak mencari data apa saja tentang kelautan bisa ditemukan pada sistem ini.

Mudah-mudahan langkah dan kebijaksanaan yang dikembangkan Indonesia dapat mengantarkan Indonesia ke tahap dimana Indonesia merupakan salah satu bagian penting dari masyarakat informasi global. Kemajuan-kemajuan yang diciptakan memang akan meningkatkan efisiensi ekonomi dan pemerintahan, menghilangkan isolasi, mengantarkan Indonesia ke panggung dunia dan mampu bersaing secara global.

Globalisasi, Global Governance dan Prospek Governance di Dunia Ketiga

Globalisasi, Global Governance dan Prospek
Governance di Dunia Ketiga



Globalisasi, governance, negara dunia ketiga
Kita sedang memasuki era postnationale Konstellation (Habermas, 1998), yang ditandai
dengan perubahan-perubahan dalam organisasi global governance kontemporer. Global
governance kontemporer tidak lagi bersifat statis, dalam arti formulasi, implementasi,
pengawasan serta pemaksaan tatanan-tatanan sosial tidak lagi berlangsung dalam kerangka
negara atau hubungan antar-negara.1 Apakah atau sejauh mana pergeseran menjauhi statisme
ini berarti ‘the end of state’ masih merupakan obyek perdebatan yang sangat serius. Dalam
konsep global governance, pemerintah nasional masih memainkan peran penting dan tak
terpisahkan. Tetapi, organisasi governance dipahami tidak lagi berlangsung dalam kerangka
ruang sosial yang bernama teritorialitas dan institusi politik yang diorganisir dalam kerangka
tersebut, yakni negara. Global governance kontemporer pada abad ke-21 ini merupakan
governance yang berlangsung di berbagai lapisan, bersifat cross cutting dan menyebar
(diffused). Tidak seperti dalam era statisme, global governance kontemporer tidak didominasi
oleh satu tingkat saja, yakni negara, melainkan berlangsung pada berbagai tingkat yang
berbeda baik lokal, provinsi, nasional, regional atau global. Masing-masing tingkat tersebut
· Gagasan awal makalah ini disampaikan dalam seminar ‚Democratic Governance in Theory: Sebuah Gugatan
Atas Konsep Good Governance’ di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 16. September 2004.
1 Dalam organisasi global governance yang statis, semua mekanisme regulasi baik global, regional, ataupun
lokal tunduk sepenuhnya di bawah dominasi pemerintah nasional. Mekanisme -mekanisme tersebut bukanlah
mekanisme-mekanisme yang otonom, melainkan mekanisme-mekanisme yang selalu mengacu pada organisasi
politik yang didasarkan pada teritorial, yakni negara.
2
berhubungan satu sama lain. Disamping itu, global governance juga melibatkan berbagai
mekanisme regulasi di luar sektor publik.2
Apa implikasi dari perkembangan global governance kontemporer ini bagi negara sebagai
aktor utama dalam sistem global governance yang statis? Tidak dapat dipungkiri, pengaruh
perkembangan global governance yang non statis sangat berbeda perdasarkan posisi negara
dalam organisasi governance yang statis. Artikel ini akan melihat implikasi berkembangnya
global governance non statis terhadap governance negara-negara yang berada dalam kategori,
dunia ketiga. Negara-negara dalam kategori ini baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin,
sering diidentikkan sebagai entitas yang cenderung 'ungovernable' yang ditandai oleh
kecenderungan ke arah anarkhi (Kaplan, 1994) ataupun potret suram yang lain (Creveld,
1999).
Konsep negara dan negara dunia ketiga
Negara merupakan konsep yang sangat kompleks. Kompleksitas konsep negara ini antara lain
bersumber pada berbagai bentuk, fungsi maupun struktur yang sangat berbeda-beda yang
dikaitkan dengan terminologi negara. Dan, salah satu implikasinya adalah munculnya
berbagai perspektif teoretis tentang negara yang juga sangat berbeda-beda. Dari perspektif
hukum internasional, misalnya, konsep negara sangat erat dikaitkan dengan karakter
‘kedaulatan’, yang komponen-komponennya meliputi wilayah negara, aparat pemaksa serta
penduduk. Dari perspektif politik, negara dipahami sebagai arena bagi berlangsungnya tawarmenawar
berbagai kepentingan. Sementara bagi seorang ekonom, negara adalah kumpulan
dTaertia pbie,r bbeargbaai gpaeil apkeurs-ppeeklatikfu y eaknogn boemrbi epduab tleikn.tang negara di atas, sebenarnya tetap memiliki
akar pemikiran yang sama, yakni berangkat dari karakterisasi negara modern sebagaimana
yang berkembang di Eropa. Salah satu aspek penting dari berbagai perspektif tersebut adalah
pemahaman mengenai negara sebagai sebuah sphere yang terpisah dan dapat dengan mudah
dibedakan dengan sphere yang lain.
Munculnya negara sebagai sebuah entitas politik yang terpisah dari entitas-entitas lain sangat
erat kaitannya dengan sejarah perkembangan negara modern; lebih spesifik lagi dalam
kaitannya dengan peran masyarakat sipil dalam proses nation-building di negara-negara
tersebut. Di negara-negara Eropa, masyarakat sipil memiliki peran yang sangat penting dalam
proses nation-building, yakni dalam memodernisir negara teritorial yang sebenarnya telah
terbentuk dan sudah mapan. Negara dan masyarakat sipil kembali menjadi dua entitas dari
dDui ah sapmhpeirre s yeamnuga b neergbaerdaa dsuenteilaa hk etteirgbae, nsteubkanliykan nyeag, amraa smyaordaekrant. sipil pada umumnya baru
terbentuk pada tahap yang sangat awal, yakni setelah terbentuknya negara tersebut.
Akibatnya, kekuasaan politik cenderung berakar dalam bangun atau struktur-struktur sosial
yang ada dalam masyarakat dan menghasilkan logika yang sangat berbeda dengan logika
2 Berbagai terminologi yang berbeda digunakan untuk menggambarkan karakter global governance yang multilayered,
cross-cutting dan diffused ini, tergantung pada penekanan yang diberikan oleh masing-masing penulis.
Robert Cox (1997), misalnya, menyebutnya sebagai suatu 'new multilateralism' untuk menekankan interaksi
yang melibatkan aktor-aktor negara dan bukan negara. Reinicke (1999/2000) menekankan pada regulasi yang
berlangsung melalui jaringan pelaku-pelaku yang saling berhubungan dan menyebutnya sebagai 'networked
governance'.
3
yang berkembang dalam kerangka masyarakat sipil di negara-negara modern. Adalah dalam
artian ini, hampir tidak mungkin untuk memahami negara dunia ketiga sebagai suatu sphere
yang terpisah. Sebagai sebuah entitas politik, negara dunia ketiga sebenarnya belum atau,
bahkan, tidak pernah sepenuhnya terbentuk. Yurisdiksi atau batas-batas kawasan publik dan
kawasan privat, formal dan informal, ataupun legal dan ilegal tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Dan, oleh karenanya, berbeda dengan negara-negara modern, negara-negara dunia
ketiga dan masyarakat tidak berhadapan satu sama lain.
Dalam perspektif politik, proses politik dan proses pembentukan kekuasaan politik
berlangsung melalui tawar-menawar antara berbagai kepentingan yang terorganisir secara
formal. Tetapi, perspektif politik ini dibangun dan dikembangkan dari sejarah negara modern
dan, oleh karenanya tidak relevan dengan proses politik dan pembentukan kekuasaan politik
yang berlangsung di negara-negara dunia ketiga. Perspektif ini jelas sulit menjelaskan atau
memahami proses politik di negara-negara tersebut karena gagal memahami hakekat negara
dunia ketiga yang tidak memiliki apa yang dimiliki oleh negara-negara industri maju seperti
misalnya public sphere yang jelas, kesadaran hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan dan
penegakan hukum, ataupun logika politik yang menempatkan negara sebagai pusat dalam
sKeetigaapg palraons eusn ytuakn gm beemrlaahnagmsuin hga kdei kdaatl akmeknuyaas.aan politik di negara-negara berkembang melalui
kerangka analisa untuk negara-negara industri maju ini nampak dengan jelas dalam berbagai
upaya teorisasi kekuasaan negara-negara dunia ketiga, seperti tercermin dalam teori-teori
pembangunan mulai dari modernisasi, depedensi maupun teori-teori fungsional. Kegagalan
berbagai upaya untuk menjelaskan hakekat kekuasaan di dunia ketiga tersebut berasal dari
sumber yang sama, yakni kegagalan mereka untuk melihat dinamika negara dunia ketiga
secara kontekstual. Teori-teori tersebut melihat negara-negara berkembang dalam kerangka
yang sangat universal, yakni yang melihat negara sebagai institusi politik untuk memenuhi
tujuan-tujuan tertentu. Teori modernisasi, misalnya, melihat negara secara teleologis dalam
arti bahwa semua negara akan berkembang ke arah ideal tertentu, sementara dependensi
memahami negara dalam kerangka determinisme struktural, yakni sebagai institusi yang
sangat tidak sederajat satu sama lain, dan ketidaksederajatan ini menimbulkan pola hubungan
yang bergantung di pihak negara-negara berkembang. Bagi para teoretisi fungsionalis, negara
adalah institusi politik dengan berbagai fungsi yang dijalankannya.
Teori-teori modernisasi, dependensi ataupun fungsionalisme telah menimbulkan banyak
kritik.3 Tetapi, kritik-kritik yang muncul seringkali terhadap tepro-teori tersebut hampir tidak
pernah mempermasalahkan asumsi dasar mengenai konsep negara. Kritik-kritik yang mereka
tampilkan tetap melihat negara sebagai sebuah entitas politik yang universal dengan karakter
dan fungsi yang berbeda dengan entitas lain. Konsekuensinya, seperti teori-teori yang mereka
kritik, kritik-kritik tersebut cenderung gagal dalam arti tidak memberikan alternatif yang lebih
bUapiaky uan utunktu mk emmeamhaahmaim nie agtaarua -mneegnajerala dskuannia p kreotsiegsa-.proses state-building, kegagalan ataupun
runtuhnya negara dengan lebih baik hanya mungkin dilakukan dengan melihat negara dalam
kaitannya dengan konteks perkembangannya. Dalam artian ini, perspektif sosiologis
menawarkan alternatif yang lebih tepat untuk memahami negara-negara dunia ketiga. Dalam
kerangka ini, negara tidak bisa dipahami sebagai sebuah realitas ‘out there,’ melainkan
sebagai realitas sebagaimana yang dipahami oleh para aktor yang terlibat di dalam proses
3 Lihat misalnya Migdal untuk teori-teori modernisasi dan dependensi Joel Migdal (1998), atau Giddens (1981).
Untuk kritik terhadap pemikiran-pemikiran fungsionalis.
4
politik yang berlangsung di dalamnya. Artinya, keberadaan negara, yakni wibawa sebagai
sebuah institusi, sebenarnya berasal dari inkorporasi struktur negara tersebut ke dalam
habitus, yakni ke dalam skema pemikiran dan persepsi subjektif para pelakunya. Artinya,
sebagai sebuah sphere atau arena tempat berlangsungnya tawar-menawar, negara harus ada
dalam ‘benak‘, yakni dalam habitus, para pelaku politiknya (Bourdieu, 1998).
Dengan kerangka pemikiran ini, keberadaan negara sebenarnya lebih terletak pada konstruksi
tentang negara sebagai institusi yang menggambarkan kesatuan dan kemampuan yuridis
daripada pada bentuk-bentuk fisik kehadirannya. Negara hadir dalam ‘benak’ para pelakunya
dan menjadi acuan identitas, yang membedakan entitas dalam negara tersebut dari entitas lain
di luar. Dengan kata lain, negara adalah apa yang yang dipahami oleh masing-masing pelaku
pDoalliatimk dsei jdaaralahm, mnyuan.culnya negara sebagai sebuah arena tawar-menawar sebagaimana yang
dipahami oleh para pelaku politik memang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.
Gambaran ideal dari proses sejarah panjang ini adalah yang berlangsung di negara-negara
modern atau negara-negara industri maju. Dalam kerangka ini, berkembangnya negara
modern ditandai oleh dua proses penting yakni, pertama, monopolisasi kekuasaan politik
yang berlangsung di halaman istana dan, kedua, birokratisasi. Kedua proses ini berjalan
secara timbal balik. Upaya untuk membentuk aparat pemaksa (militer) menuntut
berkembangnya sistem perpajakan yang efektif yang, selanjutnya, dapat digunakan untuk
memobilisir dana bagi upaya-upaya monopolisasi kekuasaan tersebut. Dengan kata lain,
perang-perang kecil dalam lingkungan istana yang berakhir dengan monopolisasi kekuasaan
politik menghasilkan sampingan berupa perkembangan sistem perpajakan yang teratur dan
sistematis. Pada saat yang sama, monopolisasi kekuasaan politik, dalam arti monopoli sarana
kekerasan fisik, berlangsung dengan efektif dengan dukungan sistem perpajakan yang baik
(Bourdieu, 1998, 102).
Berkembangnya birokrasi dalam negara modern berperan besar bagi institusionalisasi negara
dan menjadikan kehadiran negara tidak hanya sebagai konstruksi, melainkan lebih nyata
dalam kehidupan sehari-hari setiap individual. Para birokrat terutama aparat penegak hukum
merupakan bentuk ataupun simbol dari kehadiran negara.
Konsep negara sebagai sebuah konstruksi, dan bukan hanya sebagai sebuah institusi, hampir
tidak pernah muncul dalam konteks negara-negara dunia ketiga. Dalam banyak kasus, negara
seringkali tidak menjadi acuan identitas ataupun acuan bagi proses politik yang berlangsung
di negara tersebut. Tanpa fungsi acuan ini, kehadiran institusional negara menjadi sangat tidak
efektif. Seperti terlihat dalam banyak kasus di negara-negara berkembang, kehadiran birokrasi
tidak berkorelasi dengan kehadiran negara. Birokrasi di negara-negara ini bukan hanya tidak
efektif, tetapi justru seringkali memperlemah negara sebagai acuan bagi para pelaku
politiknya. Dalam konteks inilah, proses politik yang belangsung di negara-negara
berkembang cenderung mengarah pada kekacauan politik seperti yang berlangsung di Afrika,
Asia ataupun di negara-negara bekas Uni Soviet (Menzel, 1998, 227).
Dinamika negara
Memahami negara melalui perspektif sosiologis, sebagaimana dibahas pada bagian
sebelumnya, mengharuskan kita untuk melihat secara khusus konteks perkembangan dan
keberadaan negara-negara berkembang. Dilihat dari perpektif ini, negara dunia ketiga adalah
produk dari berbagai faktor yang sangat kompleks dalam rangkaian sejarah mereka: bentukbentuk
organisasi politik sebelum masa kolonial dan birokratisasi masa kolonial, tumpang
5
tindihnya periode sejarah yang sangat berbeda serta pengaruh konjunktur politik terhadap
bentuk konkrit kekuasaan politik, terhadap bentuk-bentuk reproduksi material ataupun
simbolis. Juga perubahan-perubahan kontemporer dalam lingkungan internasional seperti
berkembangnya ekonomi dunia memainkan peran yang sangat besar bagi proses pembentukan
kekuasaan politik di negara-negara dunia ketiga. Oleh karenanya, dalam kategori dunia
ketiga, misalnya, kita akan dapat dengan mudah menemukan perbedaan-perbedaan yang
sangat besar antara negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bahkan di dalam
kerangka regionalpun negara-negara di Asia, Afrika ataupun Amerika Latin sangat berbeda
satu sama lain.
Tetapi, di luar berbagai kondisi spesifik yang membentuk negara-negara dunia ketiga secara
individual, negara-negara tersebut memiliki satu karakter umum yang sama: monopolisasi
kekerasan dan state-building untuk menjadikan negara sebagai arena tawar menawar yang
otonom, cenderung tidak pernah tercapai, karena konsep negara hampir tidak pernah muncul
dalam habitus, yakni dalam benak para pelaku proses politik yang berlangsung di dalamnya.
Ketiadaan konsep negara dalam habitus dan menjadi acuan bagi para pelaku politik terjadi di
semua sphere. Sphere ekonomi adalah salah satu yang sangat mudah dilihat dan sangat besar
pengaruhnya, karena sphere ekonomi merupakan salah satu penentu dan pembatas kekuasan
politik. Dalam kerangka ini, ekonomi di dunia ketiga pada dasarnya berlangsung dalam dua
logika yang sangat berbeda.
Logika pertama adalah sebuah sistem ekonomi yang formal dan terstruktur. Sebagaimana
yang berkembang di negara-negara industri maju, di dunia ketiga dikenal juga pembukuan,
pajak, neraca atau pengawasan perusahaan. Disamping itu, semua proses pertukaran juga
telah berlangsung melalui mata uang sebagai sarana tukar. Semua yang memiliki nilai
ekonomi, direduksi nilainya melalui uang (Luhmann, 1996, 83). Uang menjadi ekuivalen
yDaanlagm sa lnoggaitk au mkeudmua, ,b saeikm duaal aemle mkaeinta fnonrmyaa dl einnig taind apkr oadduak. sEik, osinrokmulia stiid maka umpeumn iklioknis kuamraski.ter
bisnis, melainkan berdasarkan pada tatanan politik, melalui praktek-praktek pertukaran yang
tidak berlangsung dalam mekanisme pasar serta proses perputaran uang yang tidak
berdasarkan pada azas-asar pembukuan. Dalam ekonomi yang ‘informal’ ini institusi-institusi
seperti keluarga, dalam arti luas, pertukaran yang didasarkan pada redistribusi atau barter,
subsistensi dan pertukaran yang tidak bersifat moneter sangat dominan. Dalam konteks ini
social capital memiliki posisi dominan dalam reproduksi individu dibandingkan dengan
rKeepdrouda uwkislia eykaohn ionmi tii.dak mudah dikategorikan dalam artian ruang. Kedua wilayah itu tidak
lagi sesuai dengan kategori metropole - modern atau pripheri - tradisional. Kedua wilayah ini
juga tidak identik dengan gambaran negara yang berhasil ataupun negara yang gagal. Kedua
wilayah ini muncul sebagai realitas umum dan berbaur dalam praktek-praktek sosial para
pelakunya. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan, berbagai produk ekonomi formal dapat
dijumpai di dalam masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perang atau, sebaliknya,
berbagai praktek-praktek ekonomi informal seperti korupsi, pertukaran non moneter dan
sebagainya, bisa juga dijumpai di dalam wilayah ekonomi formal seperti di pusat-pusat
pKeerbbeerlaadnajaaann k medoudae rlno.gika ekonomi yang berbeda pada saat yang bersamaan ini memiliki
pengaruh besar dalam politik di dunia ketiga. Karakter negara di dunia ketiga adalah
kontradiktif. Sekalipun negara-negara ini telah berintegrasi cukup jauh ke dalam ekonomi
pasar global dan telah mengadopsi elemen-elemen kekuasaan birokrasi melalui pengaruh
6
kolonialisme, bentuk-bentuk masyarakat tradisional dalam berbagai pengaruh maupun
penampakkannya masih sangat kuat. Elemen-elemen kenegaraan masih sangat dipengaruhi
oleh loyalitas-loyalitas kekeluargaan ataupun etnis. Negara bukanlah merupakan titik
keberangkatan awal untuk membangun identitas kolektif, melainkan ditempatkan di bawah
logika ikatan-ikatan sosial (Lihat misalnya Clapham, 1982; Kunio, 1988). Dengan kata lain,
habitus sosial aparat dan warga negara tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rasionalitas
formal sebuah institusi negara.
Dalam konteks ini strategi-strategi yang digunakan oleh aktor-aktor politik memiliki ukuran
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan praktek-praktek dalam hubungan ekonomi
modern; kapital sosial dan kultural lebih penting daripada aturan-aturan tertulis. Praktekpraktek
dalam semua proses politik sangat diwarnai oleh ketidak-acuhan terhadap batas-batas
antara wilayah formal dan wilayah informal. Kebaikan hati, dengan harapan untuk
memperoleh kebaikan hati juga dalam bentuk misalnya pemenuhan kewajiban yang tidak
sesuai dengan yang dituntut (seperti membayar lebih rendah) mendorong terjadinya
pemanfaatan semua kesempatan, yang dalam kondisi tertentu, mungkin juga dengan
kekerasan. ‘Dirty tricks’ (Migdal, 1998, 217), oleh karenanya, merupakan bagian dari
kEekhoindoumpain f osremhaarli,- phuarbil imk adsayna riankfoart mduanl itaid kaekt itgearp. isah satu sama lain, melainkan merupakan dua
bagian dari sebuah proses reproduksi. Sebagaimana dalam ekonomi, dalam bidang politik
pemisahan antara kedua wilayah secara tegas seperti yang berlaku di negara-negara industri
maju juga tidak berlangsung. Akibatnya, dalam masyarakat ini, klintelisme atau korupsi, yang
dalam masyarakat modern dianggap sebagai bentuk-bentuk pelanggaran hukum, merupakan
praktek-praktek yang umum untuk mengakumulasi kekuasaan politik. Prinsip resiprositas
merupakan aturan yang sangat fundamental, yang tidak tunduk pada konsepsi negara yang
lBeegrabliasgtaisi (pCralakptehka mya, n1g9 8m2e)n. andai kekuasaan politik yang berlangsung di dunia ketiga,
sekalipun sangat dominan, bukanlah merupakan karakter yang yang statis atau stabil. Praktekpraktek
tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial baik dari dalam ataupun
dari lingkungannya. Proses perubahan yang berlangsung di tingkat global, misalnya,
memainkan peran yang sangat penting.
Pada periode tahun 1950 dan 1960an, negara pembangunan (developmental state) menjadi
trademark kekuasaan politik di dunia ketiga. Mengambil kebijakkan ekonomi industri
substitusi impor, membangun sarana-saran fisik, menjalankan projek-projek landreform serta
mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi global merupakan gambarangambaran
nyata keberadaan negara, yang dipahami sebagai agen bagi perkembangan ekonomi
dan sosial. Perubahan konteks ekonomi global tahun 1970-an menghasilkan krisis negara
pembangunan. Di luar sekelompok kecil yang berhasil meembangun ekonominya seperti
Korea Selatan dan Taiwan misalnya, sebagian besar negara-negara dunia ketiga terpuruk ke
dKarliasmis nbeegrbaarag apie mmabsaanlaghu neakno ninoim mi.uncul sebagai kerana kombinasi dua faktor: external dan
internal. Organisasi-organisasi (ekonomi) internasional menjadikan kebijakkan negara yang
ramping sebagai ideal. Berkembang sebagai suatu ‘aliansi anti-statis,’ organisasi-organisasi
ini mampu memaksa negara-negara yang mengalami masalah ekonomi untuk merubah
kebijakan-kebijakan ekonomi mereka ke arah negara ‘minimal’. Pada saat yang sama, faktor
internal juga memainkan peran yang sangat, jika bukan lebih, penting bagi munculnya krisis
model negara pembangunan. Di dunia ketiga, prasyarat bagi keberhasilan transformasi
masyarakat melalui negara sebagai aktor tidak terpenuhi, yakni adanya negara sebagai
institusi otonom.
7
Kelompok kecil negara yang berhasil dalam pembangunan ekonominya memiliki karakter
‘negara kuat.’ Tetapi, keberhasilan mereka juga ditunjang oleh konstelasi yang sangat
menunjang pembangunan ekonomi melalui model tersebut, yakni berkembangnya aliansi
antara kekuatan-kekuatan ekonomi dan aparat-aparat negara yang berkembang menjadi suatu
esprit de corps (Evans, 1995). Esprit de corps ini tidak berkembang banyak negara dunia
kDeit ingeag ayraan-gn elagianr.a ini, negara bukanlah institusi yang otonom, homogen atau kohesif. Di
negara-negara tersebut, berbagai bentuk organisasi sosial bersaing satu sama lain untuk
kepentingan-kepentingan distribusi dan partisipasi. Konflik politik antara berbagai kekuatan
sosial ini seringkali juga sangat terkait dengan struktur internasional. Memang, struktur
internasional tidak memiliki peran dominan dalam membentuk ataupun secara drastis
merubah proses politik atau proses pembentukan kekuasaan politik di negara-negara dunia
ketiga. Tetapi, peran struktur internasional ini menjadi semakin besar ketika transformasi di
tingkat global juga semakin intensif seperti ditunjukkan misalnya dengan semakin intensifnya
globalisasi ekonomi.
Prospek governance di dunia ketiga
Makalah berangkat dari argumen pentingnya konteks historis dalam memahami governance
(dan dalam kaitan ini juga prospek governance) di negara-negara dunia ketiga. Konteks
historis saat ini adalah berkembangngya organisasi governance yang menjauh dari karakter
statis, akibat berbagai tranfsormasi di tingkat global, terutama (tetapi bukan satu-satunya)
yang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Konsep ‘global’ di sini harus dipahami sebagai
sTuiadtauk hduabpuant gdaipnu ynagnkgi rsia, lbinahgw mae smejpaernagha druunhiia a snatanrgaa nt etegrakraai td danen sgisatne mse jianrtaehrn eaxspioannasli. masyarakat
Eropa. Dengan kata lain, sejarah dunia bermula dari expansi masyarakat Eropa ke berbagai
belahan dunia (Krippendorf, 1987, 27). Penemuan objek-objek eksotis serta proyek-proyek
kekuasaan kolonial telah menghasilkan amalgamasi struktur kenegaraan eropa dengan bentukbentuk
politik yang telah berkembang di daerah-daerah koloni dalam bentuk elemen-elemen
ketatanegaraan serta dalam bentuk integrasi ekonomi berdasarkan pembagian kerja di tingkat
global. Juga, pada saat berlangsungnya perubahan besar dalam kekuasaan negara di dunia
ketiga, yakni dekolonisasi, dinamika politik dari berbagai objek saling berbenturan, dan
Pmaedma bdaawsaar npyean,g tairduahk baedsaa rp ekreu abraahha np esriugbnaifhiakna nb,e snetjuaku hp obleitrikka.itan dengan hubungan antara
negara dan struktur internasional, karena aktor-aktor politik di dunia ketiga telah
memanfaatkan hubungan-hubungan mereka dengan struktur global sebagai sarana-sarana
untuk membangun kekuasaan sejak expansi Eropa ke masyarakat tersebut. Mobilisasi
dukungan internasional untuk mendukung perjuangan kemerdekaan ataupun penggunaan
bahasa konflik Timur-Barat dalam konflik-konflik dalam negeri, misalnya, merupakan contoh
yang jelas dari keterkaitan proses politik dan pembentukan kekuasaan politik di dunia ketiga
dengan proses di tingkat global. Apa yang baru dalam hubungan antara dunia ketiga dan
struktur internasional kontemporer adalah berkembangnya peluang yang lebih luas untuk
membangun kekuasaan, tetapi tanpa mengkaitkannya dengan negara sebagai arena distribusi.
Lepasnya kaitan antara meningkatnya peluang dan negara sebagai arena distribusi peluang
tersebut memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi upaya untuk membangun kekuasaan
negara. Gambaran tradisional mengenai supremasi negara menjadi semakin sulit diwujudkan
di negara-negara dunia ketiga akibat semakin bervariasinya hubungan kekuasaan dalam
sistem internasional.
8
Berkembangnya sistem global governance kontemporer yang berkarakter postnationale jelas
menunjukkan semakin bervariasinya identitas global dari aktor-aktor yang terlibat. Mereka
yang terlibat memiliki perspektif ataupun logika mereka sendiri. Oleh karenanya, konflikkonflik
dalam kontek kekuasaan politik yang berlangsung di dunia ketiga menjadi lebih sulit
untuk diadaptasi. Proses-proses untuk membangun, runtuhnya serta rekonstruksi kekuasaan
politik di dunia ketiga cenderung sarat dengan kekerasan. Lemahnya institusi-institusi politik
menjadikan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai praktik yang sangat
umum. Governance di negara-negara dunia ketiga dalam konteks global governance
kontemporer, oleh karenanya, bukan semata-mata masalah politik yang bersifat teknis dalam
arti kecakapan untuk membangun tatanan institusional, melainkan juga ‘seni’ untuk mencapai
tujuan-tujuan politik dalam konteks yang cenderung sangat bertentangan. Harapan terhadap
negara masih tetap tinggi, karena proses perubahan sosial yang terus berlangsung cenderung
mengakibatkan disintegrasi institusi-institusi tradisional dalam masyarakat. Jika negara gagal
memainkan peran ini, maka akan muncul institusi-institusi fungsional lain yang memiliki efek
polarisasi yang sangat kuat terhadap harapan-harapan yang berkembang dalam masyarakat.
Konsekuensi penguatnya saling ketergantungan internasional, yang terkenal dengan
globalisasi, tentu saja berbeda berdasarkan konteksnya. Secara umum, di semua negara baik
di negara-negara industri maju maupun di negara dunia ketiga, peran negara sebagai arena
penciptaan regulasi semakin berkurang. Tetapi, globalisasi dalam kaitannya dengan negaranegara
maju dan negara-negara berkembang memiliki makna yang sangat berbeda. Dalam
konteks negara-negara maju, berbagai pembahasan mengenai homogenisasi bentuk-bentuk
politik ataupun mengenai hilangnya keunggulan politik atas aspek-aspek lain yang mengiringi
diskusi tentang globalisasi sebenarnya berkaitan dengan perluasan bentuk politik negara dan
manifestasinya dalam kehidupan keseharian individual, yang sekarang meliputi juga regulasi
hubungan kerja ataupun perlindungan terhadap lingkungan, misalnya. Dalam konteks negara
Dunia Ketiga, sebaliknya, globalisasi memiliki makna yang lain. Deregulasi, liberalisasi,
privatisasi, sebagai sinonim globalisasi (Altvater, 1986), jelas bukan perluasan bentuk politik
negara, melainkan penyerahan fungsi-fungsi regulasi negara kepada institusi ataupun

Imam Muslim Yang Terintegrasi Dalam Beragama

Jerman Manfaatkan Imam agar Muslim Berintegrasi

Pemerintah Jerman menyelenggarakan kursus integrasi bagi para imam asing guna mempercepat integrasi Muslim di negara Eropa tengah itu. "Kursus yang ditawarkan di sini ditujukan untuk para pakar, orang-orang yang memiliki latar belakang teologi mapan, mereka yang bisa berperan sebagai contoh bagi siapa saja yang mempercayai mereka," kata Sadi Arslan, direktur perkumpulan orang-orang Muslim Turki (DITIB) kepada Deutsche Presse-Agentur (DPA) Jumat (11/12). Limabelas imam ikut serta dalam sebuah kursus selama empat bulan untuk belajar bahasa dan kebudayaan Jerman. Mereka diajari tentang kekuasaan negara, kehidupan dalam sebuah masyarakat pluralis, perbedaan agama, sistem pendidikan, migrasi dan komunitas kerja.
"Kami ingin (mereka) belajar bahasa, sehingga pintu-pintu terbuka ke sebuah dunia yang benar-benar baru," kata Arslan.

Tema kursus "Imam untuk Intergrasi", yang diluncurkan Kamis lalu di kota Nuremberg merupakan gagasan dari Goethe Institute, Kantor Federal untuk Migrasi dan Pengungsi (BAMF) dan DITIB.

Sebagian besar imam di Jerman, tumbuh dan mendapat pendidikan agama di luar Jerman, kebanyakan di Turki.

Kantor urusan agama Turki secara rutin mengirimkan imam ke lebih dari 800 masjid yang berafiliasi dengan DITIB ke sana. Tapi, hanya sedikit yang datang memiliki keterampilan berbahasa Jerman.

Di Jerman terdapat 2.250 imam, termasuk di antaranya sekitar 800 orang berasal dari Turki.

Sekitar 160 masjid dan 2.600 ruangan untuk shalat tersebar di seluruh Jerman.

Pihak penyelenggara berharap kursus itu akan membantu percepatan integrasi Muslim ke dalam masyarakat Jerman.

"Imam bisa memainkan peranan penting dan berperan sebagai jembatan dan mediator untuk mendukung integrasi antara migran dan masyakat luas," kata Presiden BAMF Albert Schmid.

Penyelenggara juga berencana untuk memperluas proyek itu dengan melibatkan 135 pria dan wanita di sembilan kota dalam tiga tahun ke depan.

Kursus inisiatif pemerintah itu bukan yang pertama kali diberikan kepada imam. Universitas Osnabrueck telah menawarkan kursus agama Islam sejak tahun 2008. Musim panas tahun ini, Negara Bagian Lower Saxony mengumumkan rencananya untuk memberikan pendidikan lebih lanjut kepada para imam.

Ada lebih dari 4 juta Muslim di Jerman, di mana 220.000 di antaranya hidup di Berlin.

Orang-orang Muslim Turki diperkirakan jumlahnya duapertiga dari jumlah Muslim yang ada.

Islam menjadi agama ketiga yang paling banyak dianut di Jerman setelah Kristen Protestan dan Katolik.

Terintegrasinya Peranan Bio Teknologi Dalam Pengembangan Obat Herbal

PERANAN BIOTEKNOLOGI
DAN MIKROBA ENDOFIT
DALAM PENGEMBANGAN OBAT HERBAL


Di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan dikembangkan dari tanaman. Sebagai contoh misalnya aspirin adalah analgesik yang paling popular yang diisolasi dari tanaman Salix dan Spiraea, demikian pula paclitaxel dan vinblastine merupakan obat antikanker yang sangat potensial yang berasal dari tanaman (Pezzuto J, 1996).
Indonesia yang dikenal sebagai salah satu dari 7 negara yang keanekaragaman
hayatinya terbesar ke dua setelah Brazil, tentu sangat potensial dalam mengembangkan

REVIEW ARTIKEL
Corresponding author : E-mail : maksum@farmasi.ui.ac.id
114 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN
REVIEW ARTIKEL
obat herbal yang berbasis pada
tanaman obat kita sendiri. Lebih dari
1000 spesies tumbuhan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku
obat. Tumbuhan tersebut menghasilkan
metabolit sekunder dengan
struktur molekul dan aktivitas
biologik yang beraneka ragam, memiliki
potensi yang sangat baik untuk
dikembangkan menjadi obat berbagai
penyakit.
Permasalahannya adalah bagaimana
menjaga tingkat produksi obat
herbal tersebut dengan bahan baku
obat herbal yang terbatas karena
sebagian besar bahan baku obat
herbal diambil dari tanaman induknya.
Sehingga dihawatirkan bahwa
sumberdaya hayati ini akan musnah
disebabkan karena adanya kendala
dalam budidayanya. Bahkan disinyalir
bahwa bahan obat herbal yang
diproduksi dan diedarkan di Indonesia
saat ini sebagian besar bahan
bakunya sudah mulai diimpor dari
beberapa negara lain.
Peranan bioteknologi dalam
budidaya, multiplikasi, rekayasa
genetika, dan skrining mikroba
endofit yang dapat menghasilkan
metabolit sekunder sangat penting
dalam rangka pengembangan bahan
obat yang berasal dari tanaman obat
ini. Bahkan dengan kemajuan yang
pesat dalam bidang bioteknologi ini
telah dapat dihasilkan beberapa jenis
tanaman transgenik yang dapat
memproduksi vaksin rekombinan
(Maksum R. 2004).
Dalam tinjauan pustaka ini akan
dibahas tentang perkembangan dan
pemanfaatan teknik-teknik bioteknologi
antara lain seperti teknik
kultur jaringan, in-vitro propagsi,
rekayasa genetika, dan peran mikroba
endofit dalam meningkatkan
produksi metabolit sekunder dari
berbagai tanaman obat tersebut.
Kultur Jaringan
Tumbuhan memiliki sifat totipotency,
artinya perkembangbiakannya
tidak hanya dari sel telur atau sperma
saja akan tetapi juga bisa berasal dari
sel-sel akar, daun, batang, dan sel
tumbuhan lainnya.
Bila kita menggunakan sebuah
sel yang berasal dari tumbuhan maka
badan tumbuhan keseluruhannya
dapat ditumbuhkan kembali. Karena
adanya sifat inilah, dengan teknikteknik
yang telah lama dikenal
seperti setek, okulasi, cangkok, serta
dengan metode kultur jaringan,
perbanyakan klon tumbuhan dapat
dilakukan tanpa batas.
Propagasi secara in vitro dari
tanaman obat telah dilakukan untuk
menghasilkan obat ataupun bahan
obat yang berkualitas tinggi (Murch
SJ., et.al.2000). Disamping itu teknik
mikropropagasi juga telah dikembangkan
dan digunakan untuk beberapa
tanaman obat, karena terbukti
multiplikasinya lebih cepat, dan
aman. Regenerasi tanaman dengan
tehnik kultur jaringan ini terbukti
menghasilkan bahan kimia yang sama
dengan tanaman induknya. Beberapa
diantaranya yang telah berhasil
dilakukan terhadap tanaman obat
Vol. II, No.3, Desember 2005 115
REVIEW ARTIKEL
seperti Cinchona ledgeriana, Digitalis
spp, Rehmania glutinosa, Rauwolfia
serpentina, Isoplexis canariensis, dll.
(Paek,KY.et.al.1995, Roy SK.,et.al.
1994., Perez BP., et.al. 2002).
Penambahan senyawa auxin dan
cytokinin dalam media perbenihan
kultur jaringan ternyata mampu
mempercepat multiplikasi sel jaringan
beberapa tumbuhan obat (Rout
Gr,et.al. 1999, Tsay HS, et.al. 1989).
Demikian pula penambahan 6-
benxylaminopurine (BA) dengan
konsentrasi tinggi (1-5 ppm), dapat
mempercepat petumbuhan jaringan
meristem dan meningkatkan produksi
alkaloid dari Atropa belladonna
(Benyamin BD., et.al. 1987). Penambahan
1-5 mg/l kinetin mampu meningkatkan
proliferasi sel Picorrhiza
kurroa (Lai N.,et.al. 1996), dan Plantago
ovata (Barna KS.et.al.1988),
sedangkan penambahan 2,2 uM
thidiazuron dapat mempercepat
proliferasi sel Nothapodytes foetida (Rai
VR et.al. 2002). Demikian pula
dengan penambahan 5 uM indole-3-
acetic acid (IAA), dapat meningkatkan
kecepatan tumbuh dari sel
jaringan Zingiber spp. (Faria RT.1995).
Induksi pertumbuhan callus
dengan berbagai jenis zat yang bersifat
sebagai regulator pertumbuhan
yang dimasukkan ke dalam medium
pertumbuhannya juga telah banyak
dilakukan. Penambahan auxin dan
cytokinin dalam jumlah yang tepat
terbukti dapat meningkatkan regenerasi
kultur dari callus Plumbago rosea
(Satheesh KK., et.al. 1988), dan
regenerasi callus ini telah berhasil
dilakukan dari berbagai tambuhan
obat yang berasal dari berbagai
eksplan tumbuhan misalnya callus
yang berasal dari daun, cabang, akar,
umbi, bunga, dan bagian lainnya dari
tumbuhan. Beberapa diantaranya
adalah regenerasi callus Hyoscyamus
mutius (Basu P. et.el. 1996), Solanum
melongena (Sharma P.,et.al. 1995),
Chephaelis ipecacuanha (Rout GR.et.al.
1992), Psoralea corylifolia (Saxena
C.et.al. 1997), Zingiber officinale (Rout
GR, et.al.1997), Mentha arvensis
(Shasany AK.,et.al. 1998), Centella
asiatica ( Patra A., et.al. 1998), Plumbago
Zeylanica (Rout GR., et.al. 1999),
Solanum laciniatum ( Okslar V., et.al.
2002), Echinacea pallida ( Koroch AR.,
et.al. 2003), dan Lepidium sativum
(Pande D., et.al. 2002).
Disamping regenerasi melalui sel
callus, regenerasi tumbuhan obat
melalui somatic embryogenesis juga
telah banyak dilakukan. Teknik ini
merupakan suatu proses dimana sel
somatik yang diambil dari jaringan
tumbuhan dapat diinduksi menjadi
embrio dan dapat tumbuh menjadi
tanaman utuh di dalam media perbenihan
yang sesuai. Dalam berbagai
percobaan yang telah dilakukan
pengaturan zat tumbuh atau zat
suplemen lainnya dapat mengatur
percepatan dari embryogenesis
tersebut untuk tujuan pembudidayaan
tanaman obat (Arumugam
N.et.al. 1990, Ghosh BE., et.al. 1991.,
Zhou J.,et.al. 1994., Rout GR.,et.al.
1995., Das P.,et.al. 1999., Kumar A.,
1992).
Kultur sel atau jaringan tanaman
116 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN
REVIEW ARTIKEL
obat yang telah didapat melalui regenerasi
secara in vitro ini dapat
disimpan dalam waktu yang lama
pada temperatur rendah dalam nitrogen
cair (-1960 C). Beberapa tanaman
obat telah dilakukan preservasinya
dengan cara pembekuan sel kulturnya
antara lain tanaman obat yang
menghasilkan alkaloid yang sangat
penting seperti Rauwollfia serpentina,
Digitalis lanata, Atropa belladonna,
Hyoscyamus spp, dll. Sistem preservasi
beku (cryopreservation) ini dapat
digunakan untuk tujuan penyimpanan
berbagai jenis sel/jaringan,
meristem, pollen, embrio, callus,
ataupun protoplas, sehingga sangat
bermanfaat untuk konservasi tanaman
obat (Tripathi L.,et.al. 2003).
Metabolit sekunder
Tanaman obat merupakan salah
satu sumber bahan baku obat. Sebagian
besar komponen kimia yang
berasal dari tamanan yang digunakan
sebagai obat atau bahan obat
adalah merupakan metobolit sekunder.
Secara in vitro produksi metabolit
sekunder ini dapat dilakukan
dengan teknik kultur jaringan (Deus
B., et.al. 1982., Stafford A, 1986).
Produksi metabolit sekunder
beberapa tanaman obat melalui kultur
jaringan telah banyak dilakukan.
Beberapa diantaranya adalah produksi
solasodine yang diisolasi dari
kultur callus Solanum eleagnifolium
(Nigra HM., et.al.1987) dan alkaloid
pyrrolidine dari kultur akar tanaman
Senecio spp. (Toppel G.,et.al. 1987).
Alkaloid cephaelin dan emetine dapat
diisolasi dari kultur callus tanaman
Cephaelis ipecacuanha (Jha S.,et.al.
1988). Demikian juga dengan alkaloid-
alkoloid penting lainnya seperti
quinoline disolasi dari kultur jaringan
Cinchona ledgeriana, diosgenin dari
kultur jaringan Dioscorea deltoidea
(Ravishankar GA.,et.al. 1991),
beberapa enzim proteolitik dari
kultur jaringan Allium sativum (Parisi
M.,et.al.2002), alkaloid cardenolide
dari kultur Digitalis lanata (Pradel H.,
et.al.1997), alkaloid azadirachtin dari
kultur jaringan Azadirachta indica
(Srividya N., et.al 1998) dan lepidine
dari kultur jaringan tanaman Lepidium
sativum (Pande D., et.al.2002).
Untuk tujuan komersial telah
dilakukan pengembangan produksi
metabolit sekunder tanaman obat
tersebut dengan sistem bioreaktor.
Sistem bioreaktor ini dapat digunakan
untuk kultur embryogenic ataupun
organogenic dari berbagai spesies
tanaman (Levin R.,et.al. 1988, Preil
W., et.al. 1988). Dari salah satu hasil
percobaan yang menggunakan sistem
bioreaktor ini dapat dihasilkan saponin
sebesar 500 mg/L/hari dari
bioreactor kultur jaringan akar
pohon ginseng (Park JM.,et.al.1992),
dan produksi alkaloid ginsenoside
dari kultur akar Panax ginseng dengan
system bioreaktor berskala besar 1-
10 ton (Hahn EJ.,et.al. 2003). Teknik
kultivasi bioreaktor ini juga telah
berhasil dilakukan untuk memproduksi
zat anti kanker dari beberapa
spesies tanaman Taxus. Cara ini jauh
lebih effisien jika dibandingkan
Vol. II, No.3, Desember 2005 117
REVIEW ARTIKEL
dengan cara-cara konvensional
dimana untuk mendapatkan 1 kg
komponen aktif taxol harus menebang
1 pohon Taxus yang kira-kira
telah berumur 100 tahun (Muhlbah
H.,1998).
Rekayasa Genetika
Kemajuan yang telah dicapai
dalam bidang bioteknologi dan
teknik DNA rekombinan telah membantu
mempercepat dan meningkatkan
berbagai penelitian menuju ke
arah pemahaman tentang biosintesis
dari metabolit sekunder. Berbagai
penelitian telah berhasil mengidentifikasi
beberapa enzim yang berperan
penting dalam jalan metabolisme,
dan telah berhasil dilakukan
rekayasa dan manipulasi terhadap
enzim-enzim tersebut. Teknik
rekayasa genetika dengan melakukan
transformasi genetik telah dilakukan
untuk memanipulasi lebih dari 120
jenis spesies dari sekitar 35 famili
tanaman menggunakan perantara
bakteri Agrobacterium ataupun
transformasi langsung (Birch RG.,
1997).
Agrobacterium tumafaciens, dan
Agrobacterium rhizogenes, merupakan
bakteri gram-negatif yang terdapat
di dalam tanah yang menyebabkan
tumor crown gall dan hairy root pada
tanaman. Bakteri Agrobacterium
tumafaciens mengandung megaplasmid
yang berperan penting
dalam induksi tumor tanaman yang
diberi nama Ti plasmid. Selama proses
infeksi, T-DNA yang merupakan
segmen penting dari Ti plasmid
ditransfer ke dalam nukleus sel yang
terinfeksi dan terintegrasi ke dalam
kromosom hospesnya. Sedangkan
bakteri A. rhizogenes dapat menginduksi
proliferasi multibranched di
tempat akar yang terinfeksi sehingga
disebut dengan “hairy root”. Melalui
infeksi ini dapat ditransfer T-DNA
yang dikenal dengan root inducing
plasmid (Ri plasmid), dan kemudian
dapat terintegrasi ke dalam kromosom
sel tanaman (Nester EW., et.al.,
1984).
Kemampuan bakteri Agrobacterium
tumafaciens, dan A. rhizogenes
yang mampu masuk ke dalam
nukleus dan berintegrasi ke dalam
kromosom tanaman inilah yang
dimanfaatkan oleh para peneliti
bioteknologi untuk melakukan
modifikasi secara genetik guna
meningkatkan produksi matabolit
sekunder tanaman obat, baik
tanaman dikotil ataupun monokotil.
Transformasi genetik terhadap
tumbuhan obat telah banyak yang
berhasil dilakukan. Beberapa diantaranya
adalah transformasi genetik
menggunakan Agrobacterium tumafaciens
terhadap tanaman transgenik
Azadirachta indica yang mengandung
rekombinan plasmid pTiA6 (Naina
NS.,et.al 1989), Atropa belladonna
(Cucu N.,et.al.2002), dan Echinea
purpurea dan terbukti dapat meningkatkan
komposisi alkaloid secara
signifikan (Koroch AR.,et.al.2002).
Demikian pula transformasi genetik
menggunakan Agrobacterium rhizogenes
telah berhasil meningkatkan
118 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN
REVIEW ARTIKEL
produksi artemisin sebesar 4.8 mg/
L, dari kultur sel Artemisia annua L.
(Cai G.,et.al.1995), dan dapat
meningkatkan produksi alkaloid
puerarin dari kultur sel Pueraria
phaseoloides (Shi HP.,et.al. 2003).
Berbagai jenis tanaman lain juga telah
diteliti peningkatan kadar metabolit
sekunder yang dihasilkannya melalui
transformasi genetik dengan Agrobacterium
rhizogenes antara lain adalah
terhadap kultur sel/jaringan yang
berasal dari tanaman Aconitum
heterophyllum (Giri A.,et.al.1997),
Digitalis lanata (Pradel H.,et.al. 1997),
Papaver somniferum L. (Park SU.,et.al.
2000), dan Solanum aviculare (Argolo.,
et.al. 2000).
Mikroba Endofit
Mikroba endofit adalah mikroba
yang hidup di dalam jaringan
tanaman pada periode tertentu dan
mampu hidup dengan membentuk
koloni dalam jaringan tanaman tanpa
membahayakan inangnya. Setiap
tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung beberapa mikroba
endofit yang mampu menghasilkan
senyawa biologi atau metabolit
sekunder yang diduga sebagai akibat
koevolusi atau transfer genetik (genetic
recombination) dari tanaman
inangnya ke dalam mikroba endofit
(Tan RX.,et.al. 2001).
Kemampuan mikroba endofit
memproduksi senyawa metabolit
sekunder sesuai dengan tanaman
inangnya merupakan peluang yang
sangat besar dan dapat diandalkan
untuk memproduksi metabolit
sekunder dari mikroba endofit yang
diisolasi dari tanaman inangnya
tersebut. Dari sekitar 300.000 jenis
tanaman yang tersebar di muka bumi
ini, masing-masing tanaman mengandung
satu atau lebih mikroba endofit
yang terdiri dari bakteri dan jamur
(Strobel GA.,et.al. 2003). Sehingga
apabila endofit yang diisolasi dari
suatu tanaman obat dapat menghasilkan
alkaloid atau metabolit
sekunder sama dengan tanaman
aslinya atau bahkan dalam jumlah
yang lebih tinggi, maka kita tidak
perlu menebang tanaman aslinya
untuk diambil sebagai simplisia, yang
kemungkinan besar memerlukan
puluhan tahun untuk dapat dipanen.
Berbagai jenis endofit telah berhasil
diisolasi dari tanaman inangnya, dan
telah berhasil dibiakkan dalam media
perbenihan yang sesuai. Demikian
pula metabolit sekunder yang
diproduksi oleh mikroba endofit
tersebut telah berhasil diisolasi dan
dimurnikan serta telah dielusidasi
struktur molekulnya. Beberapa
diantaranya adalah :
1. Mikroba endofit yang
menghasilkan antibiotika
Cryptocandin adalah antifungi
yang dihasilkan oleh mikroba
endofit Cryptosporiopsis
quercina yang berhasil diisolasi
dari tanaman obat Tripterigeum
wilfordii, dan berhasiat sebagai
antijamur yang patogen terhadap
manusia yaitu Candida albicans
Vol. II, No.3, Desember 2005 119
REVIEW ARTIKEL
dan Trichopyton spp. (Strobel
GA.,et.al. 1999).
Beberapa zat aktif lain yang
diisolasi dari mikroba endofit
misalnya ecomycin diproduksi
oleh Pseudomonas viridiflava juga
aktif terhadap Cryptococcus
neoformans dan C.albicans. Ecomycin
merupakan lipopeptida
yang disamping terdiri dari
molekul asam amino yang umum
juga mengandung homoserin
dan beta-hidroksi asam arpartat
(Miller RV., et.al. 1998), sedangkan
senyawa kimia yang diproduksi
oleh mikroba endofit
Pseudomonas Syringae yang berhasiat
sebagai anti jamur adalah
pseudomycin, yang dapat menghambat
pertumbuhan Candida
albicans dan Cryptococcus neoformans
(Harrison LD.,et.al.
1991).
Pestalotiopsis micrispora,
merupakan mikroba endofit
yang paling sering ditemukan di
tanaman hutan lindung di
seluruh dunia. Endofit ini menghasilkan
metabolit sekunder
ambuic acid yang berhasiat sebagai
antifungi (Li, JY., et al.
2001). Phomopsichalasin, merupakan
metabolit yang diisolasi dari
mikroba endofit Phomopsis spp.
berhasiat sebagai anti bakteri
Bacillus subtilis, Salmonella enterica,
Staphylococcos aureus, dan juga
dapat menghambat pertumbuhan
jamur Candida tropicalis
(Horn WS., et.al. 1995).
Antibiotika berspektrum
luas yang disebut munumbicin,
dihasilkan oleh endofit Streptomyces
spp. strain NRRL 30562
yang merupakan endofit yang
diisolasi dari tanaman Kennedia
nigriscans, dapat menghambat
pertumbuhan Bacillus anthracis,
dan Mycobacterium tuberculosis
yang multiresisten terhadap
berbagai obat anti tbc. (Castillo
UF.et.al. 2002). Jenis endofit
lainnya yang juga menghasilkan
antibiotika berspaktrum luas
adalah mikroba endofit yang
diisolasi dari tanaman Grevillea
pteridifolia. Endofit ini menghasilkan
metabolit kakadumycin.
Aktifitas antibakterinya sama
seperti munumbicin D, dan
kakadumycin ini juga berkhasiat
sebagai anti malaria (Castillo UJ.,
et.al. 2003).
2. Mikroba endofit yang memproduksi
antivirus
Jamur endofit Cytonaema sp.
Dapat menghasilkan metabolit
cytonic acid A dan B, yang
struktur malekulnya merupakan
isomer p-tridepside, berhasiat
sebagai anti virus. Cytonic acid A
dan B ini merupakan protease inhibitor
dan dapat menghambat
pertumbuhan cytomegalovirus
manusia. (Guo B.et.al. 2000).
3. Mikroba endofit yang
menghasilkan metabolit sebagai
antikanker
Paclitaxel dan derivatnya
merupakan zat yang berkhasiat
120 MAJALAH ILMU KEFARMASIAN
REVIEW ARTIKEL
sebagai antikanker yang pertama
kali ditemukan yang diproduksi
oleh mikroba endofit. Paclitaxel
merupakan senyawa diterpenoid
yang didapatkan dalam tanaman
Taxus. Senyawa yang dapat
mempengaruhi molekul tubulin
dalam proses pembelahan sel-sel
kanker ini, umumnya diproduksi
oleh endofit Pestalotiopsis microspora,
yang diisolasi dari tanaman
Taxus andreanae, T. brevifolia, dan
T. wallichiana. Saat ini beberapa
jenis endofit lainnya telah dapat
diisolasi dari berbagai jenis Taxus
dan didapatkan berbagai senyawa
yang berhasiat sebagai anti
tumor. Demikian pula upaya
untuk sintesisnya telah berhasil
dilakukan (Strobel GA. Et.al.
2002).
4. Mikroba endofit penghasil
zat anti malaria
Colletotrichum sp. merupakan
endofit yang diisolasi dari tanaman
Artemisia annua, menghasilkan
metabolit artemisinin
yang sangat potensial sebagai
anti malaria (Lu H., et.al. 2000).
Disamping itu beberapa mikroba
endofit yang diisolasi dari
tanaman Cinchona spp, juga
mampu menghasilkan alkaloid
cinchona yang dapat dikembangkan
sebagai sumber bahan baku
obat anti malaria (Simanjuntak
P., et.al. 2002).
5. Endofit yang memproduksi
antioksidan
Pestacin dan isopestacin
merupakan metabolit sekunder
yang dihasilkan oleh endofit P.
microspora. Endofit ini berhasil
diisolasi dari tanaman Terminalia
morobensis, yang tumbuh di Papua
New Guinea. Baik pestacin ataupun
isopestacin berhasiat sebagai
antioksidan, dimana aktivitas ini
diduga karena struktur molekulnya
mirip dengan flavonoid
(Strobel GA., et.al. 2002).
6. Endofit yang menghasilkan
metabolit yang berkhasiat sebagai
antidiabetes
Endofit Pseudomassaria sp
yang diisolasi dari hutan lindung,
menghasilkan metabolit
sekunder yang bekerja seperti
insulin. Senyawa ini sangat
menjanjikan karena tidak sebagaimana
insulin, senyawa ini
tidak rusak jika diberikan peroral.
Dalam uji praklinik terhadap
binatang coba membuktikan
bahwa aktivitasnya
sangat baik dalam menurunkan
glukosa darah tikus yang diabetes.
Hasil tersebut diperkirakan
dapat menjadi awal dari era
terapi baru untuk mengatasi diabetes
dimasa mendatang (Zhang
B. et.al.1999).
7. Endofit yang memproduksi
senyawa imunosupresif
Obat-obat imunospresif merupakan
obat yang digunakan
untuk pasien yang akan dilakukan
tindakan transplantasi
Vol. II, No.3, Desember 2005 121
REVIEW ARTIKEL
organ. Selain itu imunosupresif
juga dapat digunakan untuk
mengatasi penyakit autoimum
seperti rematoid artritis dan insulin
dependent diabetes. Senyawa
subglutinol A dan B yang
dihasilkan oleh endofit Fusarium
subglutinans yang diisolasi dari
tanaman T. wilfordii, merupakan
senyawa imunosupresif yang
sangat poten (Lee,J., et.al. 1995).
Penutup
Tanaman merupakan sumber
bahan baku obat yang tak ternilai
harganya, perlu terus menerus
mendapat perhatian kita semua.
Ekploitasi tanaman obat yang berlebihan
tanpa memperhatikan upaya
konservasinya tentu sangat mengkhawatirkan.
Peran para ahli budidaya
tanaman dan para ahli bioteknologi
khususnya teknologi kultur
jaringan sangat penting untuk
menghindari kelangkaan bahan baku
obat herbal yang sampai saat ini
masih diambil dari tanaman aslinya
secara konvensional. Kultur jaringan
sangat bermanfaat dalam upaya
perbanyakan dan multiplikasi serta
konversi dari beberapa spesies
tanaman obat. Produksi metabolit
sekunder dapat dilakukan secara in
vitro dalam skala besar. Demikian
pula rekayasa genetika dan transformasi
genetik dapat meningkatkan
produksi metabolit sekunder.
Peran mikroba endofit yang dapat
memproduksi metabolit sekunder
yang sama kualitasnya dengan
tanaman aslinya sangat potensial
untuk terus dikembangkan guna
memperoleh metabolit sekunder
yang dapat digunakan untuk mengobati
berbagai jenis penyakit.