Senin, 11 Januari 2010

Globalisasi, Global Governance dan Prospek Governance di Dunia Ketiga

Globalisasi, Global Governance dan Prospek
Governance di Dunia Ketiga



Globalisasi, governance, negara dunia ketiga
Kita sedang memasuki era postnationale Konstellation (Habermas, 1998), yang ditandai
dengan perubahan-perubahan dalam organisasi global governance kontemporer. Global
governance kontemporer tidak lagi bersifat statis, dalam arti formulasi, implementasi,
pengawasan serta pemaksaan tatanan-tatanan sosial tidak lagi berlangsung dalam kerangka
negara atau hubungan antar-negara.1 Apakah atau sejauh mana pergeseran menjauhi statisme
ini berarti ‘the end of state’ masih merupakan obyek perdebatan yang sangat serius. Dalam
konsep global governance, pemerintah nasional masih memainkan peran penting dan tak
terpisahkan. Tetapi, organisasi governance dipahami tidak lagi berlangsung dalam kerangka
ruang sosial yang bernama teritorialitas dan institusi politik yang diorganisir dalam kerangka
tersebut, yakni negara. Global governance kontemporer pada abad ke-21 ini merupakan
governance yang berlangsung di berbagai lapisan, bersifat cross cutting dan menyebar
(diffused). Tidak seperti dalam era statisme, global governance kontemporer tidak didominasi
oleh satu tingkat saja, yakni negara, melainkan berlangsung pada berbagai tingkat yang
berbeda baik lokal, provinsi, nasional, regional atau global. Masing-masing tingkat tersebut
· Gagasan awal makalah ini disampaikan dalam seminar ‚Democratic Governance in Theory: Sebuah Gugatan
Atas Konsep Good Governance’ di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 16. September 2004.
1 Dalam organisasi global governance yang statis, semua mekanisme regulasi baik global, regional, ataupun
lokal tunduk sepenuhnya di bawah dominasi pemerintah nasional. Mekanisme -mekanisme tersebut bukanlah
mekanisme-mekanisme yang otonom, melainkan mekanisme-mekanisme yang selalu mengacu pada organisasi
politik yang didasarkan pada teritorial, yakni negara.
2
berhubungan satu sama lain. Disamping itu, global governance juga melibatkan berbagai
mekanisme regulasi di luar sektor publik.2
Apa implikasi dari perkembangan global governance kontemporer ini bagi negara sebagai
aktor utama dalam sistem global governance yang statis? Tidak dapat dipungkiri, pengaruh
perkembangan global governance yang non statis sangat berbeda perdasarkan posisi negara
dalam organisasi governance yang statis. Artikel ini akan melihat implikasi berkembangnya
global governance non statis terhadap governance negara-negara yang berada dalam kategori,
dunia ketiga. Negara-negara dalam kategori ini baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin,
sering diidentikkan sebagai entitas yang cenderung 'ungovernable' yang ditandai oleh
kecenderungan ke arah anarkhi (Kaplan, 1994) ataupun potret suram yang lain (Creveld,
1999).
Konsep negara dan negara dunia ketiga
Negara merupakan konsep yang sangat kompleks. Kompleksitas konsep negara ini antara lain
bersumber pada berbagai bentuk, fungsi maupun struktur yang sangat berbeda-beda yang
dikaitkan dengan terminologi negara. Dan, salah satu implikasinya adalah munculnya
berbagai perspektif teoretis tentang negara yang juga sangat berbeda-beda. Dari perspektif
hukum internasional, misalnya, konsep negara sangat erat dikaitkan dengan karakter
‘kedaulatan’, yang komponen-komponennya meliputi wilayah negara, aparat pemaksa serta
penduduk. Dari perspektif politik, negara dipahami sebagai arena bagi berlangsungnya tawarmenawar
berbagai kepentingan. Sementara bagi seorang ekonom, negara adalah kumpulan
dTaertia pbie,r bbeargbaai gpaeil apkeurs-ppeeklatikfu y eaknogn boemrbi epduab tleikn.tang negara di atas, sebenarnya tetap memiliki
akar pemikiran yang sama, yakni berangkat dari karakterisasi negara modern sebagaimana
yang berkembang di Eropa. Salah satu aspek penting dari berbagai perspektif tersebut adalah
pemahaman mengenai negara sebagai sebuah sphere yang terpisah dan dapat dengan mudah
dibedakan dengan sphere yang lain.
Munculnya negara sebagai sebuah entitas politik yang terpisah dari entitas-entitas lain sangat
erat kaitannya dengan sejarah perkembangan negara modern; lebih spesifik lagi dalam
kaitannya dengan peran masyarakat sipil dalam proses nation-building di negara-negara
tersebut. Di negara-negara Eropa, masyarakat sipil memiliki peran yang sangat penting dalam
proses nation-building, yakni dalam memodernisir negara teritorial yang sebenarnya telah
terbentuk dan sudah mapan. Negara dan masyarakat sipil kembali menjadi dua entitas dari
dDui ah sapmhpeirre s yeamnuga b neergbaerdaa dsuenteilaa hk etteirgbae, nsteubkanliykan nyeag, amraa smyaordaekrant. sipil pada umumnya baru
terbentuk pada tahap yang sangat awal, yakni setelah terbentuknya negara tersebut.
Akibatnya, kekuasaan politik cenderung berakar dalam bangun atau struktur-struktur sosial
yang ada dalam masyarakat dan menghasilkan logika yang sangat berbeda dengan logika
2 Berbagai terminologi yang berbeda digunakan untuk menggambarkan karakter global governance yang multilayered,
cross-cutting dan diffused ini, tergantung pada penekanan yang diberikan oleh masing-masing penulis.
Robert Cox (1997), misalnya, menyebutnya sebagai suatu 'new multilateralism' untuk menekankan interaksi
yang melibatkan aktor-aktor negara dan bukan negara. Reinicke (1999/2000) menekankan pada regulasi yang
berlangsung melalui jaringan pelaku-pelaku yang saling berhubungan dan menyebutnya sebagai 'networked
governance'.
3
yang berkembang dalam kerangka masyarakat sipil di negara-negara modern. Adalah dalam
artian ini, hampir tidak mungkin untuk memahami negara dunia ketiga sebagai suatu sphere
yang terpisah. Sebagai sebuah entitas politik, negara dunia ketiga sebenarnya belum atau,
bahkan, tidak pernah sepenuhnya terbentuk. Yurisdiksi atau batas-batas kawasan publik dan
kawasan privat, formal dan informal, ataupun legal dan ilegal tidak dapat dipisahkan satu
sama lain. Dan, oleh karenanya, berbeda dengan negara-negara modern, negara-negara dunia
ketiga dan masyarakat tidak berhadapan satu sama lain.
Dalam perspektif politik, proses politik dan proses pembentukan kekuasaan politik
berlangsung melalui tawar-menawar antara berbagai kepentingan yang terorganisir secara
formal. Tetapi, perspektif politik ini dibangun dan dikembangkan dari sejarah negara modern
dan, oleh karenanya tidak relevan dengan proses politik dan pembentukan kekuasaan politik
yang berlangsung di negara-negara dunia ketiga. Perspektif ini jelas sulit menjelaskan atau
memahami proses politik di negara-negara tersebut karena gagal memahami hakekat negara
dunia ketiga yang tidak memiliki apa yang dimiliki oleh negara-negara industri maju seperti
misalnya public sphere yang jelas, kesadaran hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan dan
penegakan hukum, ataupun logika politik yang menempatkan negara sebagai pusat dalam
sKeetigaapg palraons eusn ytuakn gm beemrlaahnagmsuin hga kdei kdaatl akmeknuyaas.aan politik di negara-negara berkembang melalui
kerangka analisa untuk negara-negara industri maju ini nampak dengan jelas dalam berbagai
upaya teorisasi kekuasaan negara-negara dunia ketiga, seperti tercermin dalam teori-teori
pembangunan mulai dari modernisasi, depedensi maupun teori-teori fungsional. Kegagalan
berbagai upaya untuk menjelaskan hakekat kekuasaan di dunia ketiga tersebut berasal dari
sumber yang sama, yakni kegagalan mereka untuk melihat dinamika negara dunia ketiga
secara kontekstual. Teori-teori tersebut melihat negara-negara berkembang dalam kerangka
yang sangat universal, yakni yang melihat negara sebagai institusi politik untuk memenuhi
tujuan-tujuan tertentu. Teori modernisasi, misalnya, melihat negara secara teleologis dalam
arti bahwa semua negara akan berkembang ke arah ideal tertentu, sementara dependensi
memahami negara dalam kerangka determinisme struktural, yakni sebagai institusi yang
sangat tidak sederajat satu sama lain, dan ketidaksederajatan ini menimbulkan pola hubungan
yang bergantung di pihak negara-negara berkembang. Bagi para teoretisi fungsionalis, negara
adalah institusi politik dengan berbagai fungsi yang dijalankannya.
Teori-teori modernisasi, dependensi ataupun fungsionalisme telah menimbulkan banyak
kritik.3 Tetapi, kritik-kritik yang muncul seringkali terhadap tepro-teori tersebut hampir tidak
pernah mempermasalahkan asumsi dasar mengenai konsep negara. Kritik-kritik yang mereka
tampilkan tetap melihat negara sebagai sebuah entitas politik yang universal dengan karakter
dan fungsi yang berbeda dengan entitas lain. Konsekuensinya, seperti teori-teori yang mereka
kritik, kritik-kritik tersebut cenderung gagal dalam arti tidak memberikan alternatif yang lebih
bUapiaky uan utunktu mk emmeamhaahmaim nie agtaarua -mneegnajerala dskuannia p kreotsiegsa-.proses state-building, kegagalan ataupun
runtuhnya negara dengan lebih baik hanya mungkin dilakukan dengan melihat negara dalam
kaitannya dengan konteks perkembangannya. Dalam artian ini, perspektif sosiologis
menawarkan alternatif yang lebih tepat untuk memahami negara-negara dunia ketiga. Dalam
kerangka ini, negara tidak bisa dipahami sebagai sebuah realitas ‘out there,’ melainkan
sebagai realitas sebagaimana yang dipahami oleh para aktor yang terlibat di dalam proses
3 Lihat misalnya Migdal untuk teori-teori modernisasi dan dependensi Joel Migdal (1998), atau Giddens (1981).
Untuk kritik terhadap pemikiran-pemikiran fungsionalis.
4
politik yang berlangsung di dalamnya. Artinya, keberadaan negara, yakni wibawa sebagai
sebuah institusi, sebenarnya berasal dari inkorporasi struktur negara tersebut ke dalam
habitus, yakni ke dalam skema pemikiran dan persepsi subjektif para pelakunya. Artinya,
sebagai sebuah sphere atau arena tempat berlangsungnya tawar-menawar, negara harus ada
dalam ‘benak‘, yakni dalam habitus, para pelaku politiknya (Bourdieu, 1998).
Dengan kerangka pemikiran ini, keberadaan negara sebenarnya lebih terletak pada konstruksi
tentang negara sebagai institusi yang menggambarkan kesatuan dan kemampuan yuridis
daripada pada bentuk-bentuk fisik kehadirannya. Negara hadir dalam ‘benak’ para pelakunya
dan menjadi acuan identitas, yang membedakan entitas dalam negara tersebut dari entitas lain
di luar. Dengan kata lain, negara adalah apa yang yang dipahami oleh masing-masing pelaku
pDoalliatimk dsei jdaaralahm, mnyuan.culnya negara sebagai sebuah arena tawar-menawar sebagaimana yang
dipahami oleh para pelaku politik memang berlangsung dalam kurun waktu yang sangat lama.
Gambaran ideal dari proses sejarah panjang ini adalah yang berlangsung di negara-negara
modern atau negara-negara industri maju. Dalam kerangka ini, berkembangnya negara
modern ditandai oleh dua proses penting yakni, pertama, monopolisasi kekuasaan politik
yang berlangsung di halaman istana dan, kedua, birokratisasi. Kedua proses ini berjalan
secara timbal balik. Upaya untuk membentuk aparat pemaksa (militer) menuntut
berkembangnya sistem perpajakan yang efektif yang, selanjutnya, dapat digunakan untuk
memobilisir dana bagi upaya-upaya monopolisasi kekuasaan tersebut. Dengan kata lain,
perang-perang kecil dalam lingkungan istana yang berakhir dengan monopolisasi kekuasaan
politik menghasilkan sampingan berupa perkembangan sistem perpajakan yang teratur dan
sistematis. Pada saat yang sama, monopolisasi kekuasaan politik, dalam arti monopoli sarana
kekerasan fisik, berlangsung dengan efektif dengan dukungan sistem perpajakan yang baik
(Bourdieu, 1998, 102).
Berkembangnya birokrasi dalam negara modern berperan besar bagi institusionalisasi negara
dan menjadikan kehadiran negara tidak hanya sebagai konstruksi, melainkan lebih nyata
dalam kehidupan sehari-hari setiap individual. Para birokrat terutama aparat penegak hukum
merupakan bentuk ataupun simbol dari kehadiran negara.
Konsep negara sebagai sebuah konstruksi, dan bukan hanya sebagai sebuah institusi, hampir
tidak pernah muncul dalam konteks negara-negara dunia ketiga. Dalam banyak kasus, negara
seringkali tidak menjadi acuan identitas ataupun acuan bagi proses politik yang berlangsung
di negara tersebut. Tanpa fungsi acuan ini, kehadiran institusional negara menjadi sangat tidak
efektif. Seperti terlihat dalam banyak kasus di negara-negara berkembang, kehadiran birokrasi
tidak berkorelasi dengan kehadiran negara. Birokrasi di negara-negara ini bukan hanya tidak
efektif, tetapi justru seringkali memperlemah negara sebagai acuan bagi para pelaku
politiknya. Dalam konteks inilah, proses politik yang belangsung di negara-negara
berkembang cenderung mengarah pada kekacauan politik seperti yang berlangsung di Afrika,
Asia ataupun di negara-negara bekas Uni Soviet (Menzel, 1998, 227).
Dinamika negara
Memahami negara melalui perspektif sosiologis, sebagaimana dibahas pada bagian
sebelumnya, mengharuskan kita untuk melihat secara khusus konteks perkembangan dan
keberadaan negara-negara berkembang. Dilihat dari perpektif ini, negara dunia ketiga adalah
produk dari berbagai faktor yang sangat kompleks dalam rangkaian sejarah mereka: bentukbentuk
organisasi politik sebelum masa kolonial dan birokratisasi masa kolonial, tumpang
5
tindihnya periode sejarah yang sangat berbeda serta pengaruh konjunktur politik terhadap
bentuk konkrit kekuasaan politik, terhadap bentuk-bentuk reproduksi material ataupun
simbolis. Juga perubahan-perubahan kontemporer dalam lingkungan internasional seperti
berkembangnya ekonomi dunia memainkan peran yang sangat besar bagi proses pembentukan
kekuasaan politik di negara-negara dunia ketiga. Oleh karenanya, dalam kategori dunia
ketiga, misalnya, kita akan dapat dengan mudah menemukan perbedaan-perbedaan yang
sangat besar antara negara-negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Bahkan di dalam
kerangka regionalpun negara-negara di Asia, Afrika ataupun Amerika Latin sangat berbeda
satu sama lain.
Tetapi, di luar berbagai kondisi spesifik yang membentuk negara-negara dunia ketiga secara
individual, negara-negara tersebut memiliki satu karakter umum yang sama: monopolisasi
kekerasan dan state-building untuk menjadikan negara sebagai arena tawar menawar yang
otonom, cenderung tidak pernah tercapai, karena konsep negara hampir tidak pernah muncul
dalam habitus, yakni dalam benak para pelaku proses politik yang berlangsung di dalamnya.
Ketiadaan konsep negara dalam habitus dan menjadi acuan bagi para pelaku politik terjadi di
semua sphere. Sphere ekonomi adalah salah satu yang sangat mudah dilihat dan sangat besar
pengaruhnya, karena sphere ekonomi merupakan salah satu penentu dan pembatas kekuasan
politik. Dalam kerangka ini, ekonomi di dunia ketiga pada dasarnya berlangsung dalam dua
logika yang sangat berbeda.
Logika pertama adalah sebuah sistem ekonomi yang formal dan terstruktur. Sebagaimana
yang berkembang di negara-negara industri maju, di dunia ketiga dikenal juga pembukuan,
pajak, neraca atau pengawasan perusahaan. Disamping itu, semua proses pertukaran juga
telah berlangsung melalui mata uang sebagai sarana tukar. Semua yang memiliki nilai
ekonomi, direduksi nilainya melalui uang (Luhmann, 1996, 83). Uang menjadi ekuivalen
yDaanlagm sa lnoggaitk au mkeudmua, ,b saeikm duaal aemle mkaeinta fnonrmyaa dl einnig taind apkr oadduak. sEik, osinrokmulia stiid maka umpeumn iklioknis kuamraski.ter
bisnis, melainkan berdasarkan pada tatanan politik, melalui praktek-praktek pertukaran yang
tidak berlangsung dalam mekanisme pasar serta proses perputaran uang yang tidak
berdasarkan pada azas-asar pembukuan. Dalam ekonomi yang ‘informal’ ini institusi-institusi
seperti keluarga, dalam arti luas, pertukaran yang didasarkan pada redistribusi atau barter,
subsistensi dan pertukaran yang tidak bersifat moneter sangat dominan. Dalam konteks ini
social capital memiliki posisi dominan dalam reproduksi individu dibandingkan dengan
rKeepdrouda uwkislia eykaohn ionmi tii.dak mudah dikategorikan dalam artian ruang. Kedua wilayah itu tidak
lagi sesuai dengan kategori metropole - modern atau pripheri - tradisional. Kedua wilayah ini
juga tidak identik dengan gambaran negara yang berhasil ataupun negara yang gagal. Kedua
wilayah ini muncul sebagai realitas umum dan berbaur dalam praktek-praktek sosial para
pelakunya. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan, berbagai produk ekonomi formal dapat
dijumpai di dalam masyarakat-masyarakat yang sedang mengalami perang atau, sebaliknya,
berbagai praktek-praktek ekonomi informal seperti korupsi, pertukaran non moneter dan
sebagainya, bisa juga dijumpai di dalam wilayah ekonomi formal seperti di pusat-pusat
pKeerbbeerlaadnajaaann k medoudae rlno.gika ekonomi yang berbeda pada saat yang bersamaan ini memiliki
pengaruh besar dalam politik di dunia ketiga. Karakter negara di dunia ketiga adalah
kontradiktif. Sekalipun negara-negara ini telah berintegrasi cukup jauh ke dalam ekonomi
pasar global dan telah mengadopsi elemen-elemen kekuasaan birokrasi melalui pengaruh
6
kolonialisme, bentuk-bentuk masyarakat tradisional dalam berbagai pengaruh maupun
penampakkannya masih sangat kuat. Elemen-elemen kenegaraan masih sangat dipengaruhi
oleh loyalitas-loyalitas kekeluargaan ataupun etnis. Negara bukanlah merupakan titik
keberangkatan awal untuk membangun identitas kolektif, melainkan ditempatkan di bawah
logika ikatan-ikatan sosial (Lihat misalnya Clapham, 1982; Kunio, 1988). Dengan kata lain,
habitus sosial aparat dan warga negara tidak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan rasionalitas
formal sebuah institusi negara.
Dalam konteks ini strategi-strategi yang digunakan oleh aktor-aktor politik memiliki ukuran
yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan praktek-praktek dalam hubungan ekonomi
modern; kapital sosial dan kultural lebih penting daripada aturan-aturan tertulis. Praktekpraktek
dalam semua proses politik sangat diwarnai oleh ketidak-acuhan terhadap batas-batas
antara wilayah formal dan wilayah informal. Kebaikan hati, dengan harapan untuk
memperoleh kebaikan hati juga dalam bentuk misalnya pemenuhan kewajiban yang tidak
sesuai dengan yang dituntut (seperti membayar lebih rendah) mendorong terjadinya
pemanfaatan semua kesempatan, yang dalam kondisi tertentu, mungkin juga dengan
kekerasan. ‘Dirty tricks’ (Migdal, 1998, 217), oleh karenanya, merupakan bagian dari
kEekhoindoumpain f osremhaarli,- phuarbil imk adsayna riankfoart mduanl itaid kaekt itgearp. isah satu sama lain, melainkan merupakan dua
bagian dari sebuah proses reproduksi. Sebagaimana dalam ekonomi, dalam bidang politik
pemisahan antara kedua wilayah secara tegas seperti yang berlaku di negara-negara industri
maju juga tidak berlangsung. Akibatnya, dalam masyarakat ini, klintelisme atau korupsi, yang
dalam masyarakat modern dianggap sebagai bentuk-bentuk pelanggaran hukum, merupakan
praktek-praktek yang umum untuk mengakumulasi kekuasaan politik. Prinsip resiprositas
merupakan aturan yang sangat fundamental, yang tidak tunduk pada konsepsi negara yang
lBeegrabliasgtaisi (pCralakptehka mya, n1g9 8m2e)n. andai kekuasaan politik yang berlangsung di dunia ketiga,
sekalipun sangat dominan, bukanlah merupakan karakter yang yang statis atau stabil. Praktekpraktek
tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sosial baik dari dalam ataupun
dari lingkungannya. Proses perubahan yang berlangsung di tingkat global, misalnya,
memainkan peran yang sangat penting.
Pada periode tahun 1950 dan 1960an, negara pembangunan (developmental state) menjadi
trademark kekuasaan politik di dunia ketiga. Mengambil kebijakkan ekonomi industri
substitusi impor, membangun sarana-saran fisik, menjalankan projek-projek landreform serta
mengintegrasikan ekonomi nasional ke dalam ekonomi global merupakan gambarangambaran
nyata keberadaan negara, yang dipahami sebagai agen bagi perkembangan ekonomi
dan sosial. Perubahan konteks ekonomi global tahun 1970-an menghasilkan krisis negara
pembangunan. Di luar sekelompok kecil yang berhasil meembangun ekonominya seperti
Korea Selatan dan Taiwan misalnya, sebagian besar negara-negara dunia ketiga terpuruk ke
dKarliasmis nbeegrbaarag apie mmabsaanlaghu neakno ninoim mi.uncul sebagai kerana kombinasi dua faktor: external dan
internal. Organisasi-organisasi (ekonomi) internasional menjadikan kebijakkan negara yang
ramping sebagai ideal. Berkembang sebagai suatu ‘aliansi anti-statis,’ organisasi-organisasi
ini mampu memaksa negara-negara yang mengalami masalah ekonomi untuk merubah
kebijakan-kebijakan ekonomi mereka ke arah negara ‘minimal’. Pada saat yang sama, faktor
internal juga memainkan peran yang sangat, jika bukan lebih, penting bagi munculnya krisis
model negara pembangunan. Di dunia ketiga, prasyarat bagi keberhasilan transformasi
masyarakat melalui negara sebagai aktor tidak terpenuhi, yakni adanya negara sebagai
institusi otonom.
7
Kelompok kecil negara yang berhasil dalam pembangunan ekonominya memiliki karakter
‘negara kuat.’ Tetapi, keberhasilan mereka juga ditunjang oleh konstelasi yang sangat
menunjang pembangunan ekonomi melalui model tersebut, yakni berkembangnya aliansi
antara kekuatan-kekuatan ekonomi dan aparat-aparat negara yang berkembang menjadi suatu
esprit de corps (Evans, 1995). Esprit de corps ini tidak berkembang banyak negara dunia
kDeit ingeag ayraan-gn elagianr.a ini, negara bukanlah institusi yang otonom, homogen atau kohesif. Di
negara-negara tersebut, berbagai bentuk organisasi sosial bersaing satu sama lain untuk
kepentingan-kepentingan distribusi dan partisipasi. Konflik politik antara berbagai kekuatan
sosial ini seringkali juga sangat terkait dengan struktur internasional. Memang, struktur
internasional tidak memiliki peran dominan dalam membentuk ataupun secara drastis
merubah proses politik atau proses pembentukan kekuasaan politik di negara-negara dunia
ketiga. Tetapi, peran struktur internasional ini menjadi semakin besar ketika transformasi di
tingkat global juga semakin intensif seperti ditunjukkan misalnya dengan semakin intensifnya
globalisasi ekonomi.
Prospek governance di dunia ketiga
Makalah berangkat dari argumen pentingnya konteks historis dalam memahami governance
(dan dalam kaitan ini juga prospek governance) di negara-negara dunia ketiga. Konteks
historis saat ini adalah berkembangngya organisasi governance yang menjauh dari karakter
statis, akibat berbagai tranfsormasi di tingkat global, terutama (tetapi bukan satu-satunya)
yang ditunjukkan oleh fenomena globalisasi. Konsep ‘global’ di sini harus dipahami sebagai
sTuiadtauk hduabpuant gdaipnu ynagnkgi rsia, lbinahgw mae smejpaernagha druunhiia a snatanrgaa nt etegrakraai td danen sgisatne mse jianrtaehrn eaxspioannasli. masyarakat
Eropa. Dengan kata lain, sejarah dunia bermula dari expansi masyarakat Eropa ke berbagai
belahan dunia (Krippendorf, 1987, 27). Penemuan objek-objek eksotis serta proyek-proyek
kekuasaan kolonial telah menghasilkan amalgamasi struktur kenegaraan eropa dengan bentukbentuk
politik yang telah berkembang di daerah-daerah koloni dalam bentuk elemen-elemen
ketatanegaraan serta dalam bentuk integrasi ekonomi berdasarkan pembagian kerja di tingkat
global. Juga, pada saat berlangsungnya perubahan besar dalam kekuasaan negara di dunia
ketiga, yakni dekolonisasi, dinamika politik dari berbagai objek saling berbenturan, dan
Pmaedma bdaawsaar npyean,g tairduahk baedsaa rp ekreu abraahha np esriugbnaifhiakna nb,e snetjuaku hp obleitrikka.itan dengan hubungan antara
negara dan struktur internasional, karena aktor-aktor politik di dunia ketiga telah
memanfaatkan hubungan-hubungan mereka dengan struktur global sebagai sarana-sarana
untuk membangun kekuasaan sejak expansi Eropa ke masyarakat tersebut. Mobilisasi
dukungan internasional untuk mendukung perjuangan kemerdekaan ataupun penggunaan
bahasa konflik Timur-Barat dalam konflik-konflik dalam negeri, misalnya, merupakan contoh
yang jelas dari keterkaitan proses politik dan pembentukan kekuasaan politik di dunia ketiga
dengan proses di tingkat global. Apa yang baru dalam hubungan antara dunia ketiga dan
struktur internasional kontemporer adalah berkembangnya peluang yang lebih luas untuk
membangun kekuasaan, tetapi tanpa mengkaitkannya dengan negara sebagai arena distribusi.
Lepasnya kaitan antara meningkatnya peluang dan negara sebagai arena distribusi peluang
tersebut memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi upaya untuk membangun kekuasaan
negara. Gambaran tradisional mengenai supremasi negara menjadi semakin sulit diwujudkan
di negara-negara dunia ketiga akibat semakin bervariasinya hubungan kekuasaan dalam
sistem internasional.
8
Berkembangnya sistem global governance kontemporer yang berkarakter postnationale jelas
menunjukkan semakin bervariasinya identitas global dari aktor-aktor yang terlibat. Mereka
yang terlibat memiliki perspektif ataupun logika mereka sendiri. Oleh karenanya, konflikkonflik
dalam kontek kekuasaan politik yang berlangsung di dunia ketiga menjadi lebih sulit
untuk diadaptasi. Proses-proses untuk membangun, runtuhnya serta rekonstruksi kekuasaan
politik di dunia ketiga cenderung sarat dengan kekerasan. Lemahnya institusi-institusi politik
menjadikan kekerasan atau ancaman penggunaan kekerasan sebagai praktik yang sangat
umum. Governance di negara-negara dunia ketiga dalam konteks global governance
kontemporer, oleh karenanya, bukan semata-mata masalah politik yang bersifat teknis dalam
arti kecakapan untuk membangun tatanan institusional, melainkan juga ‘seni’ untuk mencapai
tujuan-tujuan politik dalam konteks yang cenderung sangat bertentangan. Harapan terhadap
negara masih tetap tinggi, karena proses perubahan sosial yang terus berlangsung cenderung
mengakibatkan disintegrasi institusi-institusi tradisional dalam masyarakat. Jika negara gagal
memainkan peran ini, maka akan muncul institusi-institusi fungsional lain yang memiliki efek
polarisasi yang sangat kuat terhadap harapan-harapan yang berkembang dalam masyarakat.
Konsekuensi penguatnya saling ketergantungan internasional, yang terkenal dengan
globalisasi, tentu saja berbeda berdasarkan konteksnya. Secara umum, di semua negara baik
di negara-negara industri maju maupun di negara dunia ketiga, peran negara sebagai arena
penciptaan regulasi semakin berkurang. Tetapi, globalisasi dalam kaitannya dengan negaranegara
maju dan negara-negara berkembang memiliki makna yang sangat berbeda. Dalam
konteks negara-negara maju, berbagai pembahasan mengenai homogenisasi bentuk-bentuk
politik ataupun mengenai hilangnya keunggulan politik atas aspek-aspek lain yang mengiringi
diskusi tentang globalisasi sebenarnya berkaitan dengan perluasan bentuk politik negara dan
manifestasinya dalam kehidupan keseharian individual, yang sekarang meliputi juga regulasi
hubungan kerja ataupun perlindungan terhadap lingkungan, misalnya. Dalam konteks negara
Dunia Ketiga, sebaliknya, globalisasi memiliki makna yang lain. Deregulasi, liberalisasi,
privatisasi, sebagai sinonim globalisasi (Altvater, 1986), jelas bukan perluasan bentuk politik
negara, melainkan penyerahan fungsi-fungsi regulasi negara kepada institusi ataupun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar